Setelah membaca suatu artikel dalam Jurnal Sosiologi yang diterbitkan oleh kampus UI pada edisi 2023, lantas saya terpantik untuk membuat tulisan ini. Judul artikel itu adalah "Narimo ing Pandum": Â How Highlander Women Perceive Poverty as a Destiny in Gunungkidul, Yogyakarta (Jati, 2023).
Dengan berfokus pada perempuan miskin di dataran tinggi, hasil riset sang penulis menunjukkan bagaimana persepsi subjek mengenai kemiskinan sangat ditentukan oleh status marjinal mereka sebagai perempuan, yang menghalangi mereka memperoleh keterampilan untuk bertahan hidup. Hal ini mengakibatkan semakin intensnya ketidakberdayaan yang dipelajari, dimana "narimo ing pandum"---menyerahkan nasib pada Tuhan--- menjadi cara untuk memahami pemiskinan seseorang.
Pada akhirnya, pandangan dunia ini menghasilkan situasi paradoks dimana perempuan miskin tidak mampu bertahan hidup tanpa berbagai bentuk bantuan sosial, namun bantuan tersebut, betapapun diperlukannya, tidak memberdayakan mereka dan semakin melanggengkan budaya kemiskinan.
Pertanyaan oleh saya, lalu bagaimana jika bantuan sosial itu berupa modal, akses lahan, teknologi, pengetahuan atau keterampilan yang bisa diperoleh secara setara dan adil, baik oleh perempuan maupun laki-laki ? Tentunya budaya kemiskinan itu bisa dituntaskan.
Ingatan saya kemudian melayang ke tahun 2014, saat Saya mengikuti mata kuliah Pengelolaan Hutan Rakyat ketika menempuh S2 di IPB. Pada sesi tentang isu gender, ibu dosen memaparkan tentang berbagai riset yang menunjukkan pada beberapa daerah atau wilayah di Indonesia, betapa luar biasanya peran perempuan dalam pekerjaan terkait pengelolaan lahan seperti bertani, berladang, berkebun, agroforestri, hutan rakyat dan lain-lain.
Pada salah satu kajian yang dipaparkan, bahkan menunjukkan perempuan menanggung peran ganda yaitu ikut ke ladang saat menanam, memelihara dan memanen, tetapi juga tetap harus melayani keluarga dan mengasuh anak. Namun demikian, saat pengambilan keputusan terkait perencanaan jenis, penentuan harga maupun pemasaran, dan bahkan keikutsertaan dalam pelatihan, peran perempuan sedikit terlihat.
"Sebegitu patriarki-nya kah dunia yang saya tempati ini ?" batin saya saat itu.
Patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti.
Pertanyaan batin saya terjawab tidak lama kemudian. Pada waktu yang sama di tahun 2014, untuk pertama kalinya Presiden Indonesia yang juga memiliki latar belakang pendidikan Kehutanan menunjuk seorang perempuan menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Bukanlah hal mudah tentunya mensinergikan antara brown issue dengan green issue, ataupun irisan keduanya dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan bagi sebuah negara berkembang seperti Indonesia. Seperti teori kurva environmental Kuznetz, terbayang beratnya.
Tidak sedikit di media sosial atau obrolan santai di warkop saat itu, tentang stereotip yang menjebak kreativitas cara berpikir beberapa orang. Yaitu meragukan perempuan dalam dunia rimbawan yang katanya penuh unsur maskulinitas.