Sisa rintik hujan di bulan Juni menyambut kedatangan kami saat hari minggu siang di Danau Tambing. Perlahan, matahari yang kembali terik menyapa diantara rerantingan pohon Leda raksasa (Eucalyptus deglupta) yang menjulang di hadapan kami. Tetesan air hujan dari tajuknya seakan memendarkan cahaya pelangi dari batangnya yang warna-warni. Keindahan ini yang mengharuskan kami mengabadikan momen foto di depan pohon Leda.
Di hadapan kami adalah Danau Tambing, salah satu objek wisata alam yang tengah hits khususnya bagi masyarakat kota Palu dan sekitarnya. Danau Tambing ini berada di dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu, tepatnya di Desa Sedoa, Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Lokasi wisata alam Danau Tambing berada di tepi jalan Trans Palu -- Napu. Meskipun memakan waktu sekitar 2 sampai 3 jam perjalanan dari Kota Palu, namun setiap akhir pekan atau pada hari libur, lokasi wisata alam Danau Tambing ini akan selalu ramai oleh pengunjung. Setelah sempat ditutup karena Pandemi Covid-19, kawasan wisata alam ini kembali dibuka pada akhir 2021 yang lalu dengan menerapkan protokol kesehatan ketat.
Di tempat ini terdapat area khusus untuk berkemah. Jangan khawatir jika tidak membawa peralatan camping, pada saat weekend akan dijumpai jasa penyewaan tenda dan alat-alat camping lainnya. Â Sembari camping, pengunjung juga bisa menikmati pemandangan alam yang begitu indah, mengamati burung-burung, koleksi anggrek serta mengelilingi Danau Tambing atau Rano Kalimpa di jalur trekking yang telah dibuat oleh pengelola kawasan wisata Danau Tambing. Kurang lebih terdapat 270 jenis burung yang berada di kawasan Danau Tambing ini. Beberapa papan informasi tentang satwa burung dan taman koleksi anggrek tersedia di lokasi ini.
Berbeda dengan suhu kota Palu yang cukup panas, suasana iklim mikro di sekitar danau Tambing sangat sejuk. Suasananya pun cukup tenang karena jauh dari pemukiman penduduk. Hutan memang penuh dengan keajaiban yang baik untuk tubuh dan pikiran kita. Aroma uap fitonsida (phytoncides) dari pepohonan di hutan sekitar danau Tambing memberikan efek psikologis yang menurunkan stress dan membuat suasana rileks bagi raga dan hati. Hamparan danau Tambing dengan latar hijau pepohonan, biru langit dan awan putih menjadi satu kesatuan pemandangan yang menyejukkan mata.
"Ayo mas, makan siang. Lalu kita lanjutkan perjalanan lagi." ajakan pak Maidiward membuyarkan pandangan saya dari langit diatas danau Tambing. Sayang sekali hanya sekitar 2 jam persinggahan saya di Danau Tambing, sembari menikmati makan siang dan mengagumi koleksi anggrek yang ada. Â Padahal saya sudah membayangkan tidur dalam kemah di tepi danau Tambing, sejenak rekreasi melupakan hiruk pikuk ibu kota.
Dengan sebuah kendaraan roda empat kami melanjutkan perjalanan menuju tempat selanjutnya, yaitu lembah Besoa, Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Â Perjalanan ke bumi Sulawesi Tengah kali ini saya lakukan bersama seorang teman kantor, pak Maidiward dan didampingi teman-teman GIZ Forclime yaitu Ibu Wina, Ibu Fey dan seorang juru mudi bernama Bayu serta pemandu lokal Pak Raymond.
Tujuan saya ke Sulawesi Tengah adalah untuk melihat lebih dekat potret Cagar Biosfer Lore Lindu. Â Cagar biosfer adalah suatu kawasan konservasi ekosistem daratan atau pesisir yang diakui oleh UNESCO untuk mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam. Cagar Biosfer melayani perpaduan tiga fungsi, yaitu : Kontribusi konservasi lansekap, ekosistem, jenis, plasma nutfah; Menyuburkan pembangunan ekonomi berkelanjutan baik ecara ekologi maupun budaya; dan Mendukung logistik untuk penelitian, pemantauan, pendidikan dan pelatihan yang terkait dengan masalah konservasi dan pembangunan berkelanjutan.
Cagar Biosfer Lore Lindu (CBLL) ditetapkan UNESCO pada tahun 1977. CBLL berada di Provinsi Sulawesi Tengah yang meliputi kota Palu dan  empat kabupaten, yaitu : Sigi, Poso , Parigi Moutong, dan Donggala.
Lanscape Cagar Biosfer Lore Lindu terdiri atas beberapa zonasi diantaranya : pertama adalah Area inti, yaitu kawasan konservasi untuk melestarikan keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya. Area inti cagar biosfer Lore Lindu adalah keseluruhan kawasan Taman Nasional Lore Lindu seluas 251.687, 70 ha; selanjutnya yang kedua adalah Zona Penyanga adalah wilayah yang mengelilingi atau berdampingan dengan area inti, berfungsi untuk melindugi area inti dari dampak negatif kegiatan manusia. Zona penyangga seluas 503.738 ha terletak di tiga kabupaten: Sigi, Donggala dan Poso. Hanya kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan tujuan konservasi dilakukan dan dikembangkan di zona ini; ketiga adalah Area transisi; adalah wilayah terluar dan terluas yang mengelilingi ata berdampingan dengan zona penyangga. Di dalam zona ini, kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari dan model-model pembangunan berkelanjutan di promosikan dan dikembangkan.
 Cagar Biosfer Lore Lindu (CBLL) memiliki bentang alam yang masih terjaga yang merupakan bagian utama dari ekosistem daratan Wallacea yang diakui sebagai pusat keanekaragaman jenis tumbuhan dan berbagai species satwa endemic Sulawesi.
Kawasan CBLL memiliki banyak potensi sumberdaya alam yang bernilai ekonomi dan mulai dikenal secara lebih luas, lintas provinsi dan nasional. Misalnya rotan, anggrek endemik, getah pinus dan madu hutan; kakao Cokelat Sulteng, kopi Premium Toratima dan Kopi Napu, beras organik, beras lokal Kamba dan monda; bawang goreng khas Lembah Palu dan daun kelor (Moringa); terumbu karang, mangrove, para layang (Matantimali dan Salena); peninggalan megalithic di Sigi, Napu, Behoa dan Bada; danau Lindu, telaga Tambing -- Kalimpaa, jalur lintas alam Palolo -- Lindu; dan lain-lain.
Selain potensi sumberdaya alam, CBLL juga memiliki kekayaan budaya yang terdiri dari masyarakat etnis suku Kaili dan Lore serta masyarakat lainnya seperti Bugis, Jawa dan Bali yang datang berbaur. Sebuah potret keindahan alam dan budaya yang dilukiskan dalam kanvas landscape khatulistiwa dan dibingkai dengan pigura yang disebut cagar biosfer.
Meninggalkan danau Tambing, kami beranjak menuju lokasi Situs Cagar Budaya Megalitik Tadulako yang berada di daerah penyangga kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Perjalanan panjang yang berliku dan cuaca yang kadang berubah memberikan kesan yang penuh tantangan dalam perjalanan ini. Sejak dari Palu menuju Poso, saya seperti dimanjakan dengan hamparan gunung dan lembah yang hijau, kelokan sungai, ladang dan jurang, dan sesekali menjumpai savanna hijau bak permadani yang menutup sebagian lereng bukit.
Rasanya seperti mimpi. Saya bisa menjejakkan kaki di lembah Behoa. Sebuah lokasi memukau, tempat dimana situs cagar budaya megalitik Tadulako berada, tepatnya di Desa Bariri, Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso. Di kawasan ini, terdapat lebih dari 15 cagar budaya yang saya jumpai, berupa patung megalitik, batu dakon, kalamba dan altar batu.
Tadulako dalam bahasa daerah Sulawesi Tengah adalah sebutan bagi para panglima perang. Tugas para Tadulako adalah menjaga keamanan negeri/ tanah suku atau desa dari serangan musuh. Merekalah garda terdepan dalam merawat pertahanan atas negeri atau desa tersebut.
Menurut cerita rakyat setempat, Tadulako adalah panglima perang yang tersisa dari sebuah perang suku di zaman sekitar 3.000 tahun sebelum masehi. Inilah kisah panglima perang yang tak pernah terkalahkan dalam berbagai peperangan. Konon kesaktian yang dimilikinya membuat lawan-lawannya tak berkutik dan ia berhasil membebaskan Tanah Lore, negeri Poso dari penaklukan suku-suku lainnya. Namun akhirnya dia dikutuk menjadi batu karena sebuah kesalahan. Sebuah cerita rakyat tentang bagaimana seharusnya pemimpin juga harus memiliki prilaku yang baik.
Sore menjelang rintik hujan kembali hadir. Kami beranjak meninggalkan desa Bariri. Beranjak senja kami sampai di Penginapan Berkat di desa Doda untuk bermalam. Sebuah penginapan sederhana yang sangat direkomendasikan jika anda mengunjungi cagar budaya megalitik. Fasilitas WiFi adalah barang pertama yang saya cari Ketika sampai disini. Untunglah tersedia voucher seharga Rp 15 ribu, cukup waktu selama 6 jam kedepan untuk update pengalaman ini di media sosial.
Malam di desa Doda begitu damai terasa. Penerangan di desa bersumber dari pembangkit listrik  skala mikro ( 1 MW) dan mini ( 10 MW) yang dikelola desa. Sebuah jasa ekosistem dari aliran air taman nasional Lore Lindu yang harus selalu dijaga.
Setelah makan malam kami berencana untuk mengunjungi situs megalitikum Pokokea. Konon dari sana, selain situs budaya kita bisa melihat hamparan langit penuh bintang. Namun apa daya, cuaca hujan rintik mengurunkan niat kami. Langit malam di lembah behoa masih tertutup mendung tipis.
Malam ini kami hanya mengobrol dan mendengar cerita pemandu tentang Lore Lindu. Adalah bang Raimon salah satu masyarakat mitra binaan Taman Nasional Lore Lindu. Dari seorang penambang hutan saat ini menjadi petani kakao dan aktif dalam kegiatan ekowisata. Lalu ada bang Hendry kadoy, masyarakat desa Doda yang mengenalkan kami dengan tutur bahasa Behoa yang sangat baru bagi saya. Ada tiga bahasa daerah utama yang biasa digunakan oleh masyarakat di Cagar Biosfer Lore Lindu, yaitu bahasa Napu, bahasa Bada dan bahasa Behoa, terangnya pada kami.
Dulu kerap turis mancanegara yang kesini. Adanya pandemi Covid-19 yang melanda dua tahun terakhir ini membuat pariwisata ke lembah behoa seperti tiarap cerita mereka.
Suara serangga malam, hembusan angin lembah Behoa, diiringi rintik hujan membuat malam di desa Doda menjadi mengesankan.
Keesokan paginya, kami semua kembali ke Pokokea. Melewati jalan setapak sedikit menanjak dari jalan utama desa, kami sampai disebuah hamparan yang fantastis. Disini paling banyak terdapat Kalamba atau semacam tong batu.
Sempat saya berimajinasi mungkin ini dulunya adalah gelas-gelas minum para raksasa dari luar angkasa, atau pemandian para raja dan bangsawan, atau mungkin wadah penguburan.
Cerita bang Hendry, Kalamba dapat ditemukan di beberapa tempat di Lembah Behoa dan Bada dan memiliki bentuk serta ukuran bervariasi. Beberapa memiliki satu lubang di tengahnya, sementara lainnya memiliki dua lubang dan kadang ada tutupnya.
"Menurut kepercayaan orang tua dulu, Kalamba digunakan sebagai bak berendam untuk para petinggi atau raja." Tuturnya
Namun ada juga yang berpendapat bahwa kalamba dulunya digunakan sebagai peti mati atau tangki air karena tutup terbuat dari batu sering ditemukan di dekat Kalamba. Dibalik berbagai macam pendapat, hingga kini belum diketahui secara pasti tentang siapa, kapan, dan tujuan dibuatnya megalit tersebut.
Puas mengambil gambar di Pokokea kami kembali melanjutkan perjalanan. Tujuan kami adalah situs megalitik Pekasele di Kecamatan Lore Timur dan singgah kembali ke danau Tambing. Di Kabupaten Poso kerap kami jumpai lahan masyarakat yang ditanami Kakao.
Sulawesi Tengah memang merupakan salah satu daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia. Bahan pembuatan cokelat ini merupakan komoditas unggulan petani di seluruh kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah. Kakao dari petani Sulawesi Tengah selama ini sudah banyak diekspor ke berbagai negara di kawasan Asia, Amerika maupun Eropa dengan menghasilkan devisa cukup besar bagi negara.
Pantas saja selepas mendarat di Kota Palu, sebelum memulai perjalanan ini, kami singgah ke rumah cokelat, yaitu pusat oleh-oleh cokelat produksi UKM. Berbagai koleksi cokelat yang diolah langsung dari Kakao asli bumi Sulawesi Tengah disajikan disini. Sekeranjang cokelat khas Palu sudah saya pesan untuk oleh-oleh. Cokelat-cokelat ini adalah olahan langsung dari hasil agroforestri para petani di Cagar Biosfer Lore Lindu.
Logo Cagar Biosfer Lore Lindu terpasang hampir pada semua varian cokelat yang disajikan di Rumah Cokelat. Pemasangan logo ini diharapkan dapat memberi nilai tambah bagi Petani. Artinya kakao yang dikembangkan secara agroforestry dan berkelanjutan.
Paket lengkap sudah kami kunjungi, rumah cokelat, keindahan alam, hutan, danau, savana, agorforestri kakao, cagar budaya, keramahan masyarakat lembah Behoa dan tentunya kekhasan kuliner yang menjadi magnet gastro tourism di Sulawesi Tengah.
Malam menyambut ketika kami sampai kembali ke Kota Palu. Adalah Ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah yang kini kembali pulih dari bencana alam gempa dan tsunami yang melanda pada tahun 2018 lalu.
Keesokan paginya kami sarapan sambil menyaksikan eloknya pemandangan teluk Palu, sebuah teluk yang berada di pantai barat Pulau Sulawesi.
Kota Palu adalah surga kuliner yang eksotik, sebut saja sambal roa, bawang goreng, uta dada, labia dange, burasa, milu siram, lalampa, duo sale, saraba, barongko, kapurung, bubur tinutuan, kue tetu dan tentunya Sup kaledo. Pastikan semuanya ada dalam list buku catatan anda jika nanti mengunjungi kota Palu.
Agenda hari ini saya berkunjung ke kantor Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, mendengar cerita dari pak Wantoko tentang tantangan pengelolaan kawasan konservasi Lore Lindu, yaitu masih dijumpai penambangan emas rakyat yang dilakukan secara illegal. Â Sedangkan kawan-kawan yang lain berkunjung ke destinasi paralayang, ekowisata air terjun dan taman mangrove yang di kelola Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Banawa Lalundu.
Sorenya kami berkumpul dan bertemu dengan seluruh perwakilan stakeholder pengelolaan KPH di kota Palu. Dipandu oleh Pak Ismet dari GIZ TC, saya mendengar banyak cerita dan pengalaman dari berbagai pihak, mulai dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, kemudian perwakilan Unit Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (UPT) di Sulawesi Tengah hingga kepala-kepala KPH di Sulawesi Tengah. Cerita dan harapan tentang keberlangsungan manfaat sumber daya hutan Sulawesi Tengah yang harus terus dijaga dan dipelihara menjadi inti dari diskusi sore kami.
Terimakasih Lore Lindu.
Cerita : Khulfi M. Khalwani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H