Willingness To Pay: dari Main Burung sampai Tiket Borobudur
"Burung ini akan terbang menghampiri anda. Siapkan saja uang kertas dengan nilai berapa saja. Dan nanti burung ini akan membawa uangnya kesini untuk kita donasikan ke upaya konservasi", ucap instruktur acara (pawang manuk) dari panggung sembari menunjuk kotak kaca di depannya tempat menampung uang.
Begitulah salah satu atraksi yang disajikan saat tadi saya berkunjung ke salah satu Bird Park yang ada di daerah Puncak Bogor.
Benar tebakan saya, akan banyak penonton yang berdiri sembari melambaikan uang kertas di tangan dengan nilai bervariasi. Dari yang saya lihat paling banyak ialah yang memberi Rp5.000,- dan Rp10.000,- tetapi ada juga beberapa yang memberi Rp20.000 dan Rp50.000,-.
Akan berbeda tentunya jika instruktur berkata, "silahkan siapkan uang minimal Rp 50.000 jika ingin dihampiri burung ini untuk hinggap ditangan anda"
Otomatis mau tidak mau nilai kerelaan membayar akan bergeser. Saya berani bertaruh akan tetap ada yang mengeluarkan gocekan untuk itu.
Kenapa? Karena atraksi ini sangat menarik. Saat burung yang cantik berwarna warni dan cerdas bisa mengerti dan menghampiri. Selain itu antusias para penonton juga terlihat karena banyak  membawa serta keluarga dan bahkan anak-anak. Nilai pengalaman yang mungkin tidak bisa seringkali dinikmati secara langsung.
Secara sederhana, mungkin beginilah gambaran _willingness to pay_ pengunjung lokal (wisatawan nusantara), termasuk saya . Harus ada harga minimal yang ditentukan agar bisa diterima pasar dan konsumen rela membayar.
Dalam ekonomi perilaku, Willingness To Pay (kesediaan untuk membayar) adalah harga maksimum dimana konsumen pasti akan membeli satu unit produk (barang/jasa). Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi mulai dari keadaan ekonomi, tingkat tren produk, faktor internal pelanggan, kelangkaan produk, kualitas produk dan lain-lain.
Mirip-miriplah sama yang rela nyawer pas dangdutan atau orgen tunggal.
Pas pula hari ini medsos lagi ramai dan saling sindir membahas rencana kenaikan harga tiket naik ke Candi  Borobudur yang akan menjadi Rp 750K untuk turis lokal. Maka terdoronglah saya untuk menulis sedikit analoginya.
Terakhir kali saya ke Candi Borobudur adalah sekitar tahun 2014 saat berlibur ke Yogyakarta lalu ngeteng naik bis dari Malioboro ke terminal dekat Borobudur.
Mungkin sekitar Rp 40-50K harga tiket candi Borobudur saat itu. Bagi saya yang saat itu masih mahasiswa S2 tentu sangatlah mahal, apalagi waktu itu saya bawa isteri dan satu anak.
Sempat saya dan isteri saling tatap saat di loket. Tapi mumpung disini, kapan lagi kami bisa mengunjungi salah satu kemegahan budaya Indonesia yang termasuk tujuh keajaiban dunia. Akhirnya kami naik ke candi. Sebelumnya saya kesini adalah sekitar tahun 1995 saat masih SD di kota Padang.
Kembali ke saat ini, maka tentu kebijakan rencana tiket menjadi Rp750K punya dasar pertimbangan ataupun survey dan kajian. Bagi saya yang baru 2 kali masuk Borobudur yaitu tahun 1995 dan tahun 2014 menganggap nilai tersebut wajar saja.
Saat ini kurva nilai warisan budaya ini memang harus kita tempatkan lebih tinggi. Nilai kebanggaan untuk tempat ini juga harus bertambah. Untuk upaya pelestarian tentu tidak ada salahnya. Pastinya ada harga ada kualitas. Namun untuk pelajar dan mahasiswa akan lebih baik jika ada diskon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H