Jika melihat peta Borneo, saya selalu membayangkan gambar kepala manusia yang sedang menghadap ke timur. Bagian hidungnya adalah Kabupaten Kutai Timur dan bagian matanya adalah Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur.
"Eye of Borneo", begitulah tampaknya sebutan yang pas untuk Berau. Karena di Berau kita bisa melihat perwakilan alam Borneo secara utuh.Â
Mulai dari potensi tambang yang melimpah sampai berbagai objek ekowisata nan eksotis; mulai dari kearifan budaya hingga keanekaragaman etnisnya; mulai dari kekayaan hutan alam tropis di hulu sungai, ekosistem esensial karst, tanah gambut, sampai keunikan hutan mangrove di pesisirnya.Â
Mulai dari kecantikan terumbu karang, habitat penyu hijau, hiu paus, sampai kekayaan hasil lautnya yang mendunia.
Tapi tidak pula kalah seru pastinya. Kali ini saya berkesempatan berkunjung ke ekosistem mangrove di muara sungai Berau, yang merupakan benteng dari semua keindahan pesisir yang dimiliki Berau. Benteng bagi daratan dari abrasi, dan benteng bagi lautan dari pencemaran.
Disini saya bertemu dengan Pak Setiyoko dan Pak Handoyo yang akan menjadi rekan perjalanan saya kali ini. Mereka telah lama bergabung sebagai pendamping dalam kegiatan pengendalian perubahan iklim FORCLIME, kerja sama antara Pemerintah Jerman dan Indonesia di Berau, yaitu pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+).
Sebelumnya lokus kegiatan FORCLIME berada di daerah Hulu Kabupaten Berau dan masih berlangsung sampai saat ini. Untuk tahun ini mereka mulai merancang berbagai program yang akan dilakukan di daerah estuari di kabupaten Berau, yaitu di kawasan Delta Berau yang dicirikan dengan ekosistem mangrove. Suatu hal yang baru dan tentunya sangat menarik untuk saya pelajari.
Luasnya kurang lebih 32 ribu hektar dan terdapat kurang lebih 15 pulau dengan luasan yang berbeda, seperti pulau Saudang Kecil, Saudang Besar, Lungsuran Naga, Lalawan, Semerah, Simaluka, Guntungan, Bingkar, dll.
"Cukup 2 jam perjalanan saja,"kata juru mudi speedboat kami yang berasal dari Sulawesi.
Kapal penarik tongkang batu bara menjadi bagian pemandangan saat kami menyusuri sungai. Hingga sampai desa Pulau Besing saya dikejutkan dengan puluhan bekantan yang berkumpul pada satu pohon. Diseberangnya terdapat dermaga untuk memuat batu bara.
"Setiap pagi dan sore mereka memang berkumpul di tepi sungai yang dekat dengan daerah muara", ujar Pak Setyoko.
"Mungkin boatnya bisa lebih dekat pak," ujarku. Saat mendekat, langsung kelompok hidung besar itu membubarkan diri karena malu.
Perjalanan kami lanjutkan hingga desa Pegat Batumbuk di salah satu pulau inti di Delta Berau. Disini kami silaturrahmi ke rumah kepala Desa untuk menjelaskan tujuan kami dan berencana akan bermalam disini.
"Mayoritas penduduk disini mulanya adalah pelaut yang datang dari Sulawesi. Saya sendiri dibawa kesini saat berumur 3 tahun" kenang Kepala Desa yang memiliki seorang putri yang saat ini sedang kuliah di kota.
"Masih siang pak, jadi kami mau melanjutkan perjalanan dulu melihat hutan dan aktivitas masyarakat disini," kami pun berpamitan.
Mangrove berfungi sebagai pelindung garis pantai dari abrasi, tsunami dan mencegah intrusi air laut. Mangrove juga menyediakan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, jasa lingkungan berupa pengembangan wisata alam, penyerap polutan, dan penyimpan karbon yang tinggi.
Secara ekologi mangrove merupakan tempat berpijah aneka biota laut, dan tempat berlindung dan berkembang biak berbagai jenis fauna ekosistem payau.
Pada tahun 1998 awalnya masyarakat di kampung Batumbuk diberi lahan garapan oleh pemerintah dengan ukuran 200 x 500 m2. Mulanya tidak banyak yang membuat tambak, namun seiring waktu banyak hutan dibuka untuk tambak.Â
Tanggul tambak dibuat dengan alat berat dan dibuatkan sekat pintu air yang terkoneksi dengan sungai. Dengan memanfaatkan pasang surut dan gravitasi air di tambak dapat dikurangi atau di tambah.
Tambak digunakan untuk budidaya udang, ikan dan kepiting. Pemanenan udang dan ikan dilakukan dengan cara membuka pintu air saat surut, sehingga akan mengikuti arus air ke jaring yang sudah disiapkan di pintu air. Untuk kepiting dipanen dengan menggunakan alat perangkap setiap harinya.
"Dulu saya kerja untuk menjaga tambak. Sekarang saya punya tambak sendiri. Sewa escavator bisa utang dulu pada pemodal di Tanjung Redep. Biaya sewanya Rp 55ribu per meter untuk pengurukan tanggul," cerita salah seorang penjaga tambak, sambil menyebut nama dua orang pengusaha tambak asal Tanjung Redep yang menjadi pemodal.
"Dulu hasil panen bisa mencapai 2 - 3 ton. Saat ini kurang tidak seperti dulu," tuturnya lebih lanjut saat kami diskusi di dalam rumah panggungnya di tepi tambak.
Keesokan paginya kami melanjutkan perjalanan menuju kampung Pegat yang terletak dipulau yang berbeda. Gelombang belum terlalu tinggi saat kami berputar melewati laut. Pemandangan hutan mangrove yang di dominasi Avicennia sp dan Sonneratia sp terlihat bagaikan benteng alami dari arah laut.
Satu - dua pohon tampak hampir roboh karena mungkin sudah tua dan terus-terusan menahan gelombang. Pada bagian daratan yang tidak tertutupi mangrove, dapat dilihat gejala abrasi atau pengikisan tanah oleh ombak.
Bagi masyarakat nelayan ikan tangkap, manfaat hutan mangrove sebagai penahan angin laut sangat dirasakan. Hal in dikarenakan kampung dan pemukiman mereka yang berada langsung di muara sungai yang berkelok. Oleh karena itu tutupan mangrove di sekitar pemukiman mereka relatif terjaga dan dilindungi.
Disini masyarakat mengolah hasil tangkapan laut untuk dijadikan ikan asin dan terasi. Terasi, ikan asin, udang dan kepiting segar adalah produk unggulan. Pengumpul langsung datang untuk membeli. Kapal pengumpul terasi biasanya berasal dari Lombok, tutur kepala kampung yang kami jumpai.
"Masalah yang kami jumpai ialah masih terdapat beberapa nelayan pencari kepiting yang menangkap semua ukuran kepiting. Kalau saya tidak mau ambil. Tapi bagaimana pengumpul lain tidak tahu. Seharusnya para pengumpul udang, ikan atau kepiting pada tiap-tiap kampung sepakat untuk tidak membeli kepiting yang masih kecil-kecil. Karena saya khawatir jumlah kepiting nanti semakin berkurang di alam," tutur ibu Hajah tersebut.
Desa Buyung Buyung merupakan daerah penyangga dari program REDD+ yang akan dilakukan di Delta Berau. Selain terdapat hutan mangrove pada daerah pesisirnya, Desa ini juga menjadi lumbung padi karena terdapat bukit yang menjadi sumber air untuk mengairi sawah-sawah disana. Sebuah tugu patung berbentuk udang besar akan dijumpai di tengah desa ini.
Setiap desa yang kami singgahi tampaknya mempunya ciri yang berbeda. Jika hari ini kami mengunjungi desa-desa yang ada di bagian selatan Delta Berau, esoknya kami berencana mengunjungi bagian utara yaitu desa Teluk Semanting dan desa Batu Batu.
Saat akan kembali ke kampung Batumbuk, kami singgah ke beberapa tambak yang kami lewati. Bagi orang baru seperti saya, pertanda adanya tambak dapat saya cirikan dari adanya rumah panggung atau pondok di pinggir sungai diantara pohon-pohon nipah.
Adalah Pak Zainal asal Bugis, yang sejak mudanya sudah merantau hingga ke Jambi, lalu ke Berau. Anak-anaknya kini juga telah berkeluarga dan memiliki tambak di Delta Berau. Selain merawat tambak kesehariannya juga menyadap air nira dari pohon nipah.
Pada kami dia menunjukkan bagaimana teknik menyadap air nira dan memilih tangkai buah nipah yang sudah matang dan siap menghasilkan air nira. Hanya menggunakan pisau dan botol-botol air mineral bekas sebagai penampungnya.
Fresh from the oven. Segelas air nira dari Nipah langsung saya teguk seketika saat ditawarkan. Manisnya alami. Semanis pengalaman ini.
"Kalau ada lagi saya mau beli dua botol besar," kata saya disambut tawa Pak Handoyo dan Pak Setyoko. Langsung Pak Zainal masuk ke rumah mengambil persediannya.
Melihat tambak milik Pak Zainal yang cukup luas. Sesaat saya teringat tambak-tambak udang di Muara Gembong - Bekasi yang beberapa waktu sebelumnya saya datangi untuk penghijauan.
Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas hutan mangrove di Indonesia adalah 19% dari total luas mangrove dunia, yaitu seluas 3,49 juta hektare. Dari luas tersebut, 1,67 juta hektare dalam kondisi baik dan 1,82 juta hektare dalam kondisi kritis.
Khusus untuk di Kalimantan, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2010 luas mangrove mencapai 1,44 juta hektare dan tahun 2015 tersisa 828 ribu hektare, sehingga persentase laju kerusakan mangrove di Kalimantan dalam 5 tahun mencapai 43 %.Â
Memperhatikan angka tersebut, upaya konservasi dan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan mangrove, seperti di Delta Berau tampaknya sudah menjadi vital dan harus dilakukan.
"Cuma sekitar 2 jam saja naik boat ke Pulau Derawan dari sini," tutur Pak Setyoko
Kondisi mangrove yang relatif baik, populasi bekantan yang dapat dijumpai disini, dan akses jalan darat dan sungai yang sudah ada hingga kampung Teluk Semanting, tampaknya cukup sebagai modal awal untuk mengembangkan ekowisata terintegrasi dengan pulau Derawan dan sekitarnya.
Dari papan informasi kampung, saya mengetahui bahwa sejarah terbentuknya kampung Teluk Semanting diawali dengan menetapnya masyarakat di teluk Pangkul yang dipimpin dan dibangun oleh kapiten Daeng yang berasal dari Sengkang, Sulawesi Selatan. Karena kondisi teluk Pangkul yang tidak memungkinkan lagi untuk ditempati, kemudian warga berpencar mencari tempat tinggal masing-masing.Â
Masyarakat yang bermukim sejak tahun 1961 di Teluk Pangkul mulai beralih ke Teluk Semanting pada tahun1974. Karena tanahnya juga subur, selain berprofesi nelayan dan mengolah hasil ikan, masyarakat juga banyak yang melakukan aktivitas pertanian.
Menjelang siang kami melanjutkan eksplorasi ke kampung Batu Batu. Rumah-rumah penduduk memanjang di tepi Sungai. Disini kami berkunjung ke rumah kepala kampung untuk ramah tamah.
Atap daun nipah digunakan untuk berbagai keperluan seperti peternakan, warung, dll. Oleh pengumpul per lembarnya diambil dengan harga Rp 1200,- dan dijual ke Tanjung Redep seharga Rp 1500,- Selain dijual ke luar, atap ini juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di Delta Muara Berau.
Perjalanan saya ke Delta Berau tampaknya harus diakhiri di desa Batu batu. Sebelum sore kami kembali ke Tanjung Redep. Beberapa ekor bekantan tampak berkumpul dan bermain di atas pohon yang tersisa.
Di Tanjung Redep saya bertemu dengan Pak Harri Kuswondho sebagai District Manager dari kegiatan Forclime FC untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan mangrove di Kabupaten Berau. Dia menjelaskan bahwa program Demontration Activity di Delta Berau adalah untuk perlindungan hutan mangrove dan perbaikan mata pencaharian penduduk lokal.
"Tiap desa memiliki ciri ekonomi tersendiri. Kami akan dukung dengan berbagai investasi program yang ramah lingkungan. Tambak yang sudah eksisting ada, akan kita kembangkan secara intensif denga pola silvofishery. Pada lahan-lahan kritis kita akan ajak masyarakat untuk membangun persemaian dan menanaminya.Â
Skema perhutanan sosial akan kita kembangkan. Kita akan mendampingi masyarakat. Ekonomi masyarakat akan kita dukung dengan berbagai jenis usaha yang sesuai dengan keinginan dan kemauannya. Tujuannya agar tekanan terhadap hutan mangrove semakin berkurang."Â
Sangat menarik mendengar cerita Pak Harri tentang upaya membangun kembali hutan dengan tetap memberikan nilai tambah bagi masyarakat di pesisir Berau. Sayang cerita saya kali berakhir disini. Sebuah cerita cinta dari tepian yang kadang terlupakan. Konservasi pesisir yang menopang kehidupan.
langitborneo@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H