Fresh from the oven. Segelas air nira dari Nipah langsung saya teguk seketika saat ditawarkan. Manisnya alami. Semanis pengalaman ini.
"Kalau ada lagi saya mau beli dua botol besar," kata saya disambut tawa Pak Handoyo dan Pak Setyoko. Langsung Pak Zainal masuk ke rumah mengambil persediannya.
Melihat tambak milik Pak Zainal yang cukup luas. Sesaat saya teringat tambak-tambak udang di Muara Gembong - Bekasi yang beberapa waktu sebelumnya saya datangi untuk penghijauan.
Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas hutan mangrove di Indonesia adalah 19% dari total luas mangrove dunia, yaitu seluas 3,49 juta hektare. Dari luas tersebut, 1,67 juta hektare dalam kondisi baik dan 1,82 juta hektare dalam kondisi kritis.
Khusus untuk di Kalimantan, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2010 luas mangrove mencapai 1,44 juta hektare dan tahun 2015 tersisa 828 ribu hektare, sehingga persentase laju kerusakan mangrove di Kalimantan dalam 5 tahun mencapai 43 %.Â
Memperhatikan angka tersebut, upaya konservasi dan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan mangrove, seperti di Delta Berau tampaknya sudah menjadi vital dan harus dilakukan.
"Cuma sekitar 2 jam saja naik boat ke Pulau Derawan dari sini," tutur Pak Setyoko
Kondisi mangrove yang relatif baik, populasi bekantan yang dapat dijumpai disini, dan akses jalan darat dan sungai yang sudah ada hingga kampung Teluk Semanting, tampaknya cukup sebagai modal awal untuk mengembangkan ekowisata terintegrasi dengan pulau Derawan dan sekitarnya.
Dari papan informasi kampung, saya mengetahui bahwa sejarah terbentuknya kampung Teluk Semanting diawali dengan menetapnya masyarakat di teluk Pangkul yang dipimpin dan dibangun oleh kapiten Daeng yang berasal dari Sengkang, Sulawesi Selatan. Karena kondisi teluk Pangkul yang tidak memungkinkan lagi untuk ditempati, kemudian warga berpencar mencari tempat tinggal masing-masing.Â