Mohon tunggu...
Khulfi M Khalwani
Khulfi M Khalwani Mohon Tunggu... Freelancer - Care and Respect ^^

Backpacker dan penggiat wisata alam bebas... Orang yang mencintai hutan dan masyarakatnya... Pemerhati lingkungan hidup... Suporter Timnas Indonesia... ^^

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Wisata Hutan Desa di Pulau Dewata

19 Oktober 2017   15:59 Diperbarui: 20 Oktober 2017   03:24 4746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "eksotis" artinya memiliki daya tarik khas karena belum banyak dikenal umum. Namun siapa yang tidak tahu Bali ? Primadona pariwisata Indonesia yang sudah terkenal di seluruh dunia. Kemolekan pantai, gunung, danau, seni dan budaya yang terangkum di pulau dewata ini, tampaknya selalu memiliki eksotisme tersendiri bagi siapa pun yang pernah, atau baru pertama kali mengunjunginya. Catatan perjalanan saya di akhir bulan Agustus ini, melihat sisi eksotisme Bali yang lain, yaitu hutan dan masyarakatnya.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Berdasarkan data Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia tahun 2014 oleh Direktorat Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (KLHK 2015), diketahui bahwa luas daratan kawasan hutan di pulau Bali ialah 127,3 ribu ha atau sekitar 22,5% dari luas daratan provinsi Bali. Dari luas tersebut hanya 86,3 ribu ha atau sekitar 2/3-nya yang memiliki penutupan lahan berupa hutan. 

Persentase terbesar dari tutupan lahan berupa hutan di Provinsi Bali terletak di hutan lindung yaitu seluas 72,4 ribu ha, kemudian di hutan konservasi seluas 12,6 ribu ha dan hutan produksi 1,3 ribu ha. Disisi lain, luas tutupan lahan berupa hutan pada areal bukan kawasan hutan atau Areal Penggunaan Lain (APL), justru lebih luas dibandingkan pada hutan konservasi, yaitu 16,4 ribu ha.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Gambaran umum kondisi hutan tersebut mendorong langkah saya untuk melihat langsung bentuk pemanfaatan hutan lindung di Pulau Dewata. Hutan Lindung adalah Kawasan Hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Namun demikian hutan lindung tetap bisa dimanfaatkan langsung oleh masyarakat.

Sebelumnya saya mengunjungi kantor Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara di Denpasar. Balai ini baru mulai dibentuk pada tahun 2015. Tugas Balai ini ialah melakukan kegiatan penyiapan kawasan perhutanan sosial, pengembangan usaha dan kemitraan serta pemetaan konflik dibidang Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. 

Di sini saya berdiskusi dengan Pak Roland Pangaribuan selaku Kepala Balai dan juga pak Akhmad Fauzi selaku Kepala Seksi Tenurial dan Hutan Adat.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dari mereka saya mendapatkan informasi mengenai capaian program perhutanan sosial di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Perhutanan Sosial termasuk dalam Agenda Pemerataan Ekonomi yang dilakukan Pemerintah. Tujuannya ialah menekan ketimpangan lahan, ketimpangan usaha serta meningkatkan keterampilan dan pendidikan masyarakat sekitar hutan. Targetnya tak tanggung-tanggung, sampai 2019 Pemerintah menargetkan akan memberikan 12,7 juta hektar akses kelola lahan hutan di seluruh Indonesia kepada masyarakat.

"Namun demikian, ini bukan hanya target luasan saja, melainkan juga kesiapan kelembagaan masyarakat untuk mengelolanya. Oleh karena itu verifikasi dan pendampingan terus kita lakukan. Meskipun jumlah SDM kita terbatas" Kata Pak Roland menerangkan.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Selanjutnya saya pamit menuju salah satu  lokasi perhutanan sosial yang mereka jelaskan.

Tidak sulit untuk mencapai lokasi Hutan Desa Selat, yaitu ke arah utara dari kota Denpasar. Akses jalan sudah sangat baik. Perjalanan yang harusnya kurang dari 2 jam dengan menggunakan mobil, akan menjadi 4 jam atau lebih, karena keindahan pemandangan danau Baratan di Bedugul, disusul Danau Buyan dan Danau Tamblingan yang berdampingan akan memaksa kita untuk menyinggahinya dan menghidupkan kamera.

"Di desa ini masyarakat lebih menyegani awik -- awik atau hukum adat daripada hukum positif milik pemerintah. Karena peraturan adat lebih mengikat. Apabila menebang sebatang pohon secara illegal, jika ketahuan oleh Pacalang Jagawana, akan terkena sanksi denda materi dan kewajiban menanam 10 batang yang harus dipastikan hidup. Beda desa, beda pula awik-awiknya,"  ujar Pak Mangku Budiasa di warungnya siang itu. Lokasinya berada di pinggir jalan beraspal yang membelah bukit hutan lindung di Desa Selat. Warung sederhana ini  tampaknya satu-satunya yang ada disini.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Pak Mangku adalah ketua Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) yang mengelola hutan desa Selat seluas 552 ha yang berlokasi di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Areal kerja hutan desa ini telah ditetapkan bersama 6 hutan desa lainnya di Kabupaten Buleleng oleh Menteri Kehutanan  pada tahun 2010, namun baru memperoleh Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) dari Gubernur Bali pada tahun 2015. 

Hutan-hutan desa itu diantaranya berada di Desa Selat (552 ha), Desa Wanagiri (250 ha), Desa Sudaji (90 ha), Desa Lemukih (988 ha), Desa Galungan (712 ha), Desa Telaga (96 ha) dan desa Tejakula (353 ha).

Hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa, sedangkan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) adalah hak pengelolaan pada kawasan hutan lindung atau hutan produksi yang diberikan kepada lembaga desa. Karena Hutan Desa Selat secara fungsinya termasuk hutan lindung, maka bentuk pemanfaatan yang boleh dilakukan oleh masyarakat ialah  pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan serta pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Potensi yang dimiliki hutan desa Selat ialah Rotan seluas 55 ha dan potensi pengembangan wisata spritual dan wisata alam seperti air terjun serta rumah pohon. Pada beberapa titik di sekitar jalan yang kami lalui, masyarakat memanfaatkan lahan untuk agroforestri bunga hortensia atau bunga pecah seribu  dengan tanaman kehutanan.

Hebatnya, masyarakat desa Selat telah menyiapkan Rencana Kerja Tahunan pertamanya yang meliputi kegiatan rehabilitasi lanjutan, peningkatan pengawasan hutan, pengelolaan hasil hutan bukan kayu untuk kerajinan, pengembangan wisata spritual dan wisata alam, membangun sentra informasi, rencana area parkir dan pengembangan SDM. 

Hanya sekitar  127 ha atau 23% dari luas Hutan Desa Selat yang masih memiliki kondisi alami, sisanya sekitar 63% atau 350  ha adalah hutan yang telah direhabilitasi melalui pengkayaan dan penanaman, lalu sekitar 75 ha adalah luas yang rencanya akan mereka rehabilitasi.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Sebentar diskusi kami siang itu, karena Pak Mangku pamit mempersiapkan diri untuk rangkaian upacara pengabenan. Selain sebagai ketua Bumdes, Pak Mangku juga bertugas di Pura Desa untuk melayani umat Hindu di Desa Selat. Kami pun dengan senang hati sepakat untuk melanjutkan diskusi besok harinya.

Sejuk, asri dan syahdu, adalah tiga kata yang terlintas di pikiran saya saat menaiki kanopi bridge dan rumah pohon yang terbuat dari bambu di salah satu spot wisata yang ada di Hutan Desa Selat. Pemandangan pantai Lovina di utara pulau Bali terlihat dari sini. Masih gratis, hanya sebuah kotak bertuliskan "dana punia" di depan gerbang gapuranya disediakan bagi pengunjung yang mau menyumbang secara sukarela.  Pada sisi area yang lain, juga ada  camping ground dan sumber air yang sedang dibangun.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Lokasi hutan desa ini sebenarnya sangat strategis. Saya dapat membayangkan setelah para turis puas bermain di Denpasar, kemudian naik ke atas untuk menikmati Kebun Raya Eka Karya, Danau Baratan, Danau Buyan dan Danau Tamblingan, mereka dapat singgah berkemah di camping area hutan desa Selat sebelum melanjutkan tour ke pantai Lovina untuk melihat atraksi lumba-lumba di habitatnya. Paket tour inilah yang sepertinya sedang saya nikmati saat ini. 

Untuk mencapai pantai Lovina hanya setengah jam perjalanan dari hutan desa Selat. Jejeran kafe, bar, resort maupun hotel mulai dari kelas ekonomis sampai VVIP banyak terdapat di sekitar pantai ini. Turis mancanegara tampak sangat ramai meskipun malam menjelang di Lovina.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Banyak yang menawarkan paket snorkeling dan diving, namun saya lebih tertarik untuk melihat atraksi lumba-lumba di laut bebas yang dimulai jam 6 pagi. Cukup Rp 100.000 per orang kita dapat ikut menaiki perahu nelayan meninggalkan pantai menuju samudera. 

Sunrise dari arah tenggara pulau Bali begitu indah dilihat dari atas perahu. Sayangnya terlalu ramai  perahu yang berburu dolpine pagi itu. Hanya empat kali saya bisa melihat kawanan dolpinesehingga saya puaskan diri dengan snorkelingmenikmati keindahan aquarium alam di utara pantai lovina.

Siangnya saya kembali ke Hutan Desa Selat. Kembali belajar dengan pak Mangku mengenai suka dukanya mempertahankan hutan lindung di Desa Selat dan memberikan nilai tambah bagi masyarakat.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
"Kalau dulu, tidak mudah untuk memperoleh akses berupa Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD). Meskipun telah ditetapkan oleh Menteri sejak tahun 2010 namun baru  pada tahun 2015, SK HPHD dari Gubernur turun. Pak Mangku sampai harus berdemo di kantor DPRD. Saya sendiri tidak tahu dimana letak kelambatannya. Kalau memang kami kurang mampu, kenapa kami tidak dibimbing. Baru saja akhir-akhir ini sudah mulai banyak perhatian. Bahkan ke depan mungkin kami juga bisa menggandeng perusahaan BUMN atau swasta untuk bekerjasama membangun hutan desa ini" Tutur Pak Mangku pada kami siang itu.

Menurut data dari BPS Provinsi Bali, secara makro Persentase penduduk miskin di Kabupaten Buleleng tahun 2016 ialah sebesar 5.79 %, menurun 1 % dibanding tahun 2014 yaitu sebesar 6.79 %. Namun angka ini masih di atas persentase jumlah penduduk miskin di Bali yang pada tahun 2016 mencapai 4,25 %.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Sebuah ironi memang, di tengah glamornya pariwisata Bali, masih terdapat 4,25% penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Angka melek huruf, tingkat partisipasi angkatan kerja, gini rasio, dan  daya beli masyarakat adalah faktor-faktor yang mempengaruhi angka kemiskinan di Provinsi Bali. Melalui penguatan kelembagaan dan pemberian akses kelola hutan negara kepada masyarakat diharapkan dapat meningkatkan partisipasi angkatan kerja dan menekan gini rasio (kesenjangan) sehingga persentase dan jumlah penduduk miskin di Bali juga menurun.

Mengunjungi hutan desa di Bali mengajarkan saya bagaimana prinsip kehati-hatian dalam mengelola hutan lindung yang selama ini terkesan open access,namun saat ini dipercayakan secara legal formal pada masyarakat sekitar hutan untuk dikelola secara lestari.

Dok.pribadi
Dok.pribadi
 
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
Dok.pribadi
*) Cerita dan Foto : Khulfi M Khalwani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun