Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "eksotis" artinya memiliki daya tarik khas karena belum banyak dikenal umum. Namun siapa yang tidak tahu Bali ? Primadona pariwisata Indonesia yang sudah terkenal di seluruh dunia. Kemolekan pantai, gunung, danau, seni dan budaya yang terangkum di pulau dewata ini, tampaknya selalu memiliki eksotisme tersendiri bagi siapa pun yang pernah, atau baru pertama kali mengunjunginya. Catatan perjalanan saya di akhir bulan Agustus ini, melihat sisi eksotisme Bali yang lain, yaitu hutan dan masyarakatnya.
Persentase terbesar dari tutupan lahan berupa hutan di Provinsi Bali terletak di hutan lindung yaitu seluas 72,4 ribu ha, kemudian di hutan konservasi seluas 12,6 ribu ha dan hutan produksi 1,3 ribu ha. Disisi lain, luas tutupan lahan berupa hutan pada areal bukan kawasan hutan atau Areal Penggunaan Lain (APL), justru lebih luas dibandingkan pada hutan konservasi, yaitu 16,4 ribu ha.
Sebelumnya saya mengunjungi kantor Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara di Denpasar. Balai ini baru mulai dibentuk pada tahun 2015. Tugas Balai ini ialah melakukan kegiatan penyiapan kawasan perhutanan sosial, pengembangan usaha dan kemitraan serta pemetaan konflik dibidang Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.Â
Di sini saya berdiskusi dengan Pak Roland Pangaribuan selaku Kepala Balai dan juga pak Akhmad Fauzi selaku Kepala Seksi Tenurial dan Hutan Adat.
"Namun demikian, ini bukan hanya target luasan saja, melainkan juga kesiapan kelembagaan masyarakat untuk mengelolanya. Oleh karena itu verifikasi dan pendampingan terus kita lakukan. Meskipun jumlah SDM kita terbatas" Kata Pak Roland menerangkan.
Tidak sulit untuk mencapai lokasi Hutan Desa Selat, yaitu ke arah utara dari kota Denpasar. Akses jalan sudah sangat baik. Perjalanan yang harusnya kurang dari 2 jam dengan menggunakan mobil, akan menjadi 4 jam atau lebih, karena keindahan pemandangan danau Baratan di Bedugul, disusul Danau Buyan dan Danau Tamblingan yang berdampingan akan memaksa kita untuk menyinggahinya dan menghidupkan kamera.
"Di desa ini masyarakat lebih menyegani awik -- awik atau hukum adat daripada hukum positif milik pemerintah. Karena peraturan adat lebih mengikat. Apabila menebang sebatang pohon secara illegal, jika ketahuan oleh Pacalang Jagawana, akan terkena sanksi denda materi dan kewajiban menanam 10 batang yang harus dipastikan hidup. Beda desa, beda pula awik-awiknya,"  ujar Pak Mangku Budiasa di warungnya siang itu. Lokasinya berada di pinggir jalan beraspal yang membelah bukit hutan lindung di Desa Selat. Warung sederhana ini  tampaknya satu-satunya yang ada disini.