Hanya saya dan Feri yang membawa paspor. Setelah melewati pemeriksaan yang tidak begitu ketat, kami sempatkan melintas ke Lubok Antu, Serawak, sekedar untuk melihat-lihat rumput tetangga.
Sama halnya dengan Pak Aden di masa mudanya, rata-rata hampir sepertiga masyarakat angkatan kerja di desa melakukan migrasi ke negara tetangga untuk mencari kerja. Banyak dari mereka yang menjadi tenaga kerja kontruksi, kebun sawit, hutan produksi, berdagang, atau tenaga kerja informal lainnya. Saat gawai atau pesta panen dan hari-hari libur besar agama mereka pulang.
Melalui program hutan sosial, termasuk hutan desa yang didampingi Forclime, tentunya besar harapan untuk bisa meningkatkan daya saing masyarakat desa dan menyerap tenaga kerja di Kapuas Hulu, yang sudah dicanangkan sebagai kabupaten konservasi. Sehingga simbol perkuatan ekonomi di perbatasan tidak hanya sebatas fisik saja, melainkan juga pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar hutan.
Setelah dari Badau kami menuju ke hutan desa Banua Ujung, desa Tamao, desa Labian, desa Labian Ira'ang dan desa Lanjak Deras. Sambutan ramah selalu kami terima dari masyarakat yang ikut menerima program ini, termasuk Kepala Desa, LMDH, fasilitator desa.Â
Di sini masyarakat menanam jenis tekam Shorea collina, keladan Dipterocarpus gracillis, puri Mitragyna speciosa, kopi Coffea sp, kakao Theobroma cacao, karet Hevea brasiliensis, gamal Gliricidia sepium dan gaharu Aquilaria sp.
Namun demikian tidak berarti tidak ada kendala dalam program hutan dan perubahan iklim ini. Berdasarkan informasi dari masyarakat sendiri, tidak jarang dari mereka yang masih kurang semangat untuk menanam hutan kembali. Hal ini karena mereka sudah terbiasa memungut semua dari alam. Alam sudah menyediakan semuanya. Untuk itu pendampingan dan sosialisasi harus terus dilakukan, karena zaman telah berubah.
Jika dulu mereka bergantung pada hutan, saat ini hutan bergantung pada mereka. Lahan yang produktif harus terus dibangun tanpa mengabaikan kearifan tradisional. Maka akses kelola hutan desa dan akses pasar adalah jawabannya.
Cerita dari masyarakat Desa Tamao saat obrolan malam kami, proyek pemerintah yang bersifat top down kadang sulit diterima oleh mereka. Sebagai contoh pencetakan sawah baru, lahan yang dipakai kurang berkenan oleh lembaga adat. Irigasinya masih kurang mendukung. Lapisan tanah bagian atas untuk lahan sawah di garuk ke sisi samping dengan alat berat. Padahal menurut masyarakat lapisan inilah yang subur.Â
Akhirnya masyarakat enggan menanam dan bantuan pupuk dari pemerintah pusat pun menumpuk di depan kantor kepala desa yang sempat saya singgahi. Benar atau tidaknya cerita tersebut, setidaknya bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah yang berniat membantu masyarakat.
Hanya 2 malam kami kembali ke Putusibau. Selanjutnya kami mulai perjalanan naik
speedboat ke lokasi DA REDD+ putaran kedua di wilayah Siawan Belidak, dari dermaga di sungai Kapuas, tepat di seberang depan rumah dinas Bupati Kapuas Hulu.
Perlu waktu 2 setengah jam untuk mencapai desa Bunut Hulu dan desa Bunut Tengah, kecamatan Bunut Hilir. Secara umum kondisi fisik topografi areal DA REDD+ Siawan Belidak adalah dataran rendah berupa 30 % rawa gambut, 60 % area pasang surut dan 10 % perairan.Â
Lihat Travel Story Selengkapnya