"Terdapat dua lokasi DA di Kapuas Hulu, putaran yang pertama berada di sebelah utara. Untuk mencapainya kita bisa menggunakan mobil. Lokasinya meliputi 16 desa di 3 kecamatan, Embaloh Hilir, Embaloh Hulu dan Batang Lupar, dengan luas 170 Ribu ha. Lokasi ini merupakan daerah penyangga kawasan taman nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum. Lalu DA REDD+ putaran kedua berada di sebelah selatan di wilayah Siawan Belidak, yang mencakup 12 desa di 7 kecamatan mencakup area seluas 48 Ribu ha. Untuk mencapainya kita bisa menggunakan speed boat melintasi sungai Kapuas," Pak Sutedja menerangkan.
Malam itu pun kami berlima termasuk juru mudi, sepakat untuk langsung menuju ke arah utara, lalu dua hari kemudian ke selatan. Maka sampailah kami dirumah betang dusun Kelawik, desa Mensiau tempat pak Aden tinggal.
Setelah melihat lokasi pembibitan, areal penanaman dan demplot agroforestri di desa Mensiau, lalu mandi di sungai Mensiau yang menjadi bagian dari mata air sungai Kapuas, kemudian makan pagi dengan menu organik khas kuliner dayak, akhirnya silaturahmi saya di dusun kelawik di tutup dengan acara beruai (bahasa iban) atau berkumpul bersama di aula rumah betang yang memanjang. Tampak anak-anak sekolah dasar sudah bersiap dengan parang untuk kerja bakti di sekolahnya di hari sabtu yang cerah ini.
Tatap muka dan diskusi dengan warga dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan di aula rumah betang menjadi pengalaman yang tidak terlupakan bagi saya. Bukan untuk mengajar, melainkan mendengar. Begitulah saya utarakan niat pada mereka. Cerita pun mengalir. Bagaimana semua merasa bersyukur akan manfaat program Forclime. Dengan bangga mereka bercerita bahwa sebentar lagi hutan desa Mensiau akan mendapatkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Mereka telah melakukan penataan batas desa secara partisipatif. Mereka juga telah menyusun rencana pengelolaan yang akan dilakukan. Mulai dari inventarisasi, reboisasi, pemanenan HHBK, sampai strategi pemasaran dan bahkan patroli bersama. Mereka merancang peraturan desa, pelatihan administrasi dan keuangan. Semua difasilitasi oleh program Forclime. Sebuah jalan panjang untuk memantapkan akses kelola hutan oleh masyarakat.
Tak terasa siang menjelang. Sebuah kain selendang kas dayak dengan pewarna alam, yang biasa dijual seharga 50 Ringgit kepada turis dari Malaysia, menjadi oleh-oleh yang saya beli dari sini.
Dari rumah betang di dusun Kelawik kami berpindah kemudi melewati jalan berbatu menuju rumah betang di dusun Entebuluh. Lokasinya lebih jauh ke dalam dari jalan lintas utama. Aktivitas warga yang sedang menjemur bulir padi hasil panen dari ladang terhenti sejenak, berganti senyum ramah menyambut kami.Â
Bahasa lokal iban, asap tembakau, aroma kopi dan gaharu, tumpukan hasil panen, pria tua bertatto, seakan memberi kesan keakraban yang magis bagi saya, saat beruai di rumah betang di bawah bukit berhutan desa Mensiau. Cerita pengalaman dan harapan, mereka tautkan terhadap program ini.
"Belum lama ini Pak Jokowi juga kesini meresmikan Pos Lintas Batas Negara di Badau. Dia tidak mau naik helikopter. Tapi naik mobil seperti kita," cerita Feri, juru mudi kami, saat meninggalkan dusun Ente Buluh menuju titik berikutnya, hutan desa Tamao dan hutan desa Banua Ujung.
"Kalau pak Jokowi saja sudah ke sana, berarti kita juga singgah ke sana," jawabku.
Benar saja, tidak sampai satu jam melewati jalan yang relatif sudah lebih baik, kami sampai di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Badau yang baru diresmikan oleh presiden. Kemegahan bangunan fisik pos ini seakan menjadi simbol perkuatan ekonomi masyarakat di perbatasan.
Lihat Travel Story Selengkapnya