"Dulu banyak hutan di kampung ini. Awal tahun 2000-an, di sini ramai-ramai orang menebang pohon. Kampung lain pun juga. Ribuan gelondong kayu dibawa menyeberang ke Malaysia lewat Badau pakai truk-truk besar. Pak Aden juga ikutan. Jalan di desa Mensiau ini, Pak Aden dulu ikut membuat," cerita pak Aden saat kami sampai di atas tanah berbukit di ujung lahan warisan leluhurnya.
"Iya, tapi itu dulu. Sekarang Pak Aden bergabung dengan program Forclime. Tahun lalu bukit sebelah sudah pak Aden tanami karet, tekam dan gaharu. Sekarang yang ini baru pak aden tanami gaharu, karet, tekam, gamal, klengkeng, sahang atau lada, jagung, sayur-sayuran dan bumbu dapur lainnya. Di bawahnya mengalir sungai kecil. Pak Aden bendung sedikit, untuk kolam tempat pelihara ikan. Seperti yang diajarkan pak Tedja, Pak Aden ingin jadikan tempat ini sebagai demplot agar masyarakat bisa belajar agroforestri dan silvofisheri," ujar pak Aden sambil menunjuk hamparan lahan di depan kami.
"Super sekali," batinku.
Bukan suatu kebetulan tentunya, jika semalam saya bisa menginap di Rumah Betang Suku Dayak Iban, di dusun Kelawik. Di mana pak Aden dan istrinya, beserta 20an kepala keluarga lainnya tinggal bersama dan bersandingan. Lalu pagi ini saya bisa ikut ke lahan kritis di desanya, yang mereka coba untuk membangunnya kembali.
Maka sampailah saya di Putussibau. Sebuah kota kecil ibukota Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Dua kali penerbangan untuk mencapainya dari Jakarta.
Namun demikian, sebenarnya tujuan utamanya tidak hanya itu, melainkan bagaimana agar hutan yang dulunya dirambah oleh illegal logging dan terbakar kini bisa dibangun kembali melalui mekanisme pembiayaan, dan sejalan dengan itu ekonomi masyarakat di desa juga tumbuh dan angka kesenjangan dapat berkurang, melalui peningkatan kapasitas masyarakat desa hutan, reboisasi dan penghijauan, agroforestri, pembinaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) serta penguatan kelembagaan.