Koleksi memori saya yang seuprit terkait kepingan sejarah revolusi perjuangan kemerdekaan Indonesia, dalam jejak pengasingan Bung Karno dari Berastagi ke Parapat. Itu pun dikurangi jarak 11 km, karena perjalanan kali ini dimulai dari Kabanjahe bukan dari Berastagi.
Minggu, 10 Maret 2024. Kami bersama rombongan Perpulungen Jabu-Jabu (persekutuan keluarga) Sektor 11 jemaat Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Runggun Ketaren berangkat ke kota wisata Parapat di Kabupaten Simalungun dari Kabanjahe, Tanah Karo, pada pukul 10.30 WIB via Simarjarunjung, untuk tujuan retreat atau semacam rekoleksi.
Perjalanan sejauh 67,6 km dari Kabanjahe hingga Simarjarunjung kami tempuh selama lebih kurang 2 jam. Kami tiba sekitar pukul 12.30 WIB, beristirahat sejenak untuk makan siang.
Sekadar informasi, dulu pada era 90-an, bukit Simarjarunjung ini sering kali masuk layar TVRI. Kalau tak salah, pada acara penutup sebelum layar teve menyemut sekitar pukul 00.00 WIB, antena transmisi TVRI yang ikonik pada masanya itu dan masih berdiri kokoh hingga kini di bukit Simarjarunjung tampil sekilas dalam tayangan dengan iringan lagu "Rayuan Pulau Kelapa" karya Ismail Marzuki.
Hamparan permukaan danau Toba ditambah semilir angin di bawah pohon pinus, membuat selera makan semakin meronta hendak segera menggasak nasi hangat dalam bungkusan. Kami duduk lesehan di atas tikar yang kami bawa, cuaca panas terik menyengat, untung banyak pepohonan besar yang rindang.
Kalau sobat traveller singgah di sini, jangan lupa mencoba teh atau kopi di restorannya yang penuh kenangan itu. Kopinya mantap, juga ada paket goreng pisang hangatnya yang terkenal lezat.
Pada masa jayanya, bangunan restoran ini tampak cukup megah. Namun, waktu dan perubahan memakan segalanya. Apa yang uzur digantikan yang lebih muda, yang awal menjadi yang akhir, yang akhir menjadi yang awal.
Bila sobat traveller merasa berharga hal-hal bernilai memorabilia dari masa lalu, mari kita sama-sama berusaha menjaganya agar tetap mampu bertahan melintasi waktu, meskipun takmungkin awet muda seumur hidup. Bagaimana pun, menjadi tua itu sudah pasti ya, Sobat!
Kami, para orang tua yang rerata sudah jelita (menjelang lima puluh tahun) menyesap memori masa lalu dengan cara masing-masing di bukit Simarjarunjung selama lebih kurang 90 menit. Perjalanan lanjutan sejauh 36,8 km dari Simarjarunjung hingga Parapat kami tempuh selama 1 jam. Tiba di tempat kami menginap, mess Marihat milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, pada pukul 15.00 WIB.
Lokasi mess ini bisa dikatakan sebagai titik akhir dari rute jalan darat berliku. Mulai dari Simarjarunjung hingga Parapat, jalanan naik turun di antara rimbunnya kanopi pohon-pohon pinus berukuran besar.
Mess ini berada di tepian danau Toba yang menjorok ke arah danau, dan hanya berjarak sekitar 1,7 km ke pelabuhan Ajibata. Tempat penyeberangan dari Parapat ke pulau Samosir.
Berada di puncak bukit, berdiri kokoh sebuah bangunan tua yang menawan dan sangat terawat. Dengan gagah menghadap bebas ke hamparan danau Toba dan pulau Samosir. Ini adalah rumah pengasingan Bung Karno di Parapat.
Gambaran ini sebagaimana pernah dituliskan oleh Cindy Adams dalam otobiografi Bung Karno yang berjudul "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia." Bung Karno melukiskan rumah pengasingannya di Parapat ini sebagai tempat peristirahatan yang indah tapi tidak mudah dijangkau.
"Rumah itu di tiga sisinya dikelilingi air. Bagian belakang rumah berupa tanah darat, yang dapat dicapai melalui jalan berkelok-kelok," kata Bung Karno.
Bagi saya pribadi, keberadaan rumah pengasingan Sukarno yang diberi nama "Pasanggrahan Bung Karno Parapat" ini menarik untuk lebih digali. Ini adalah kesempatan saya yang kedua kali ke lokasi pengasingan Bung Karno ini.
Pertama, pada awal Maret 2020, tidak lama sebelum pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat akibat pandemi. Itu pun hanya melihat dari jauh dan sebentar saja.
Sekilas tentang Rumah dan Kisah Pengasingan Bung Karno di Parapat
Rumah pengasingan Bung Karno di tepi Danau Toba, Parapat, Kab. Simalungun, Sumatera Utara ini dibangun oleh orang Belanda pada tahun 1820. Rumah kayu berlantai 2 ini berukuran kurang lebih 10 x 20 m dan dikelilingi taman yang luas.
Rumah ini ditempati oleh pemiliknya sampai dengan tahun 1942, hingga masa pendudukan Jepang di Indonesia.
Bangunan ini mengadopsi arsitektur bergaya klasik yang digunakan oleh masyarakat di negara-negara Eropa pada awal abad ke 19. Sebuah bangunan dengan gaya arsitektur yang disebut indische architectur.
Dari rumah ini kita bisa menikmati keindahan pulau Samosir dan danau Toba. Dekat dengan rumah itu ada sebuah mercusuar dengan atap di puncaknya berornamen Simalungun.
Di rumah inilah pemerintah kolonial Belanda pernah mengasingkan Presiden Sukarno, Kyai Haji Agus Salim, dan Sutan Sjahrir selama kurang lebih dua bulan sejak 4 Januari 1949. Sebelumnya Belanda mengasingkan mereka selama dua belas hari di desa Lau Gumba, Berastagi, Tanah Karo.
Dikisahkan oleh pak Zamzami, pria yang bertugas menjaga dan mengurus rumah yang disebut Pasanggrahan Sukarno di Parapat ini, kisah pengasingan Bung Karno, Kyai Haji Agus Salim, dan Sutan Sjahrir sebelum sampai di Parapat dimulai dari kisah penerbangan ketiganya bersama dengan Bung Hatta dari lapangan udara Maguwo di Jogjakarta menuju lapangan udara Soewondo di Medan pada tahun 1948.
Tiba di lapangan udara Soewondo, Medan, hanya Bung Karno, Kyai Haji Agus Salim, dan Sutan Sjahrir yang turun di Medan. Sementara itu, Bung Hatta melanjutkan perjalanan untuk diasingkan ke Bangka. Hal ini bertujuan untuk memutus komunikasi Bung Hatta dengan Bung Karno.
Dari Medan, Bung Karno, Kyai Haji Agus Salim, dan Sutan Sjahrir dibawa ke Berastagi. Mereka ditempatkan di sebuah rumah dengan penjagaan tentara Belanda di desa Lau Gumba, Berastagi. Rumah pengasingan di Berastagi itu ditempati Soekarno mulai 22 Desember 1948, selama 12 hari.
Belanda berniat membujuk Sukarno di Berastagi untuk membatalkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Presiden Sukarno jelas saja berkeras menolak bujukan itu.
Baca juga:Â Menyinggahi Sejarah pada Rumah Pengasingan Presiden Sukarno di Berastagi
Lalu timbullah niat Belanda untuk meracuni makanan Sukarno dengan memperalat seorang pelayan dari suku Jawa bernama Karno Subiran, yang bertugas menghidangkan makanan untuk Sukarno.
Namun, yang disuruh meracuni makanan Sukarno itu menolak keras. Karno Subiran pun dipukuli tentara Belanda lalu dikurung di goa yang hingga saat ini masih bisa dilihat bukti fisiknya di belakang hotel Rudang Berastagi, yang hanya berjarak sekitar 650 meter dari rumah pengasingan Sukarno di desa Lau Gumba.
Dari Berastagi, Bung Karno, Kyai Haji Agus Salim, dan Sutan Sjahrir pun dipindahkan ke Parapat. Di rumah pengasingan Parapat yang dijaga ketat oleh tentara Belanda itu, Bung Karno dilayani oleh seorang kakek Bernama Ludin Tindaon.
Setelah sekian hari diasingkan di Parapat, timbul niat Bung Karno untuk menjalin komunikasi dengan gerilyawan yang ada di sana. Karena ketatnya penjagaan tentara Belanda, Bung Karno sering meminta dibuatkan lauk paha ayam dan sayur kangkung.
Lewat surat yang digulung dan diselipkan ke dalam rongga paha ayam dan rongga sayur kangkung itulah Bung Karno menjalin komunikasi dengan gerilyawan melalui perantaraan pelayannya.
Menurut penuturan pak Zamzami, dari informasi yang sampai kepada gerilyawan ada rencana untuk mendatangkan pasukan Siliwangi dari Bandung dalam rangka pembebasan Bung Karno, Kyai Haji Agus Salim, dan Sutan Sjahrir.
Konon katanya pasukan Siliwangi ini sudah masuk ke wilayah Parapat tanpa diketahui pihak Belanda. Namun, Sukarno meminta untuk tidak usah dilakukan konfrontasi dengan Belanda karena akan menambah kesengsaraan rakyat pada masa susah itu.
Salah satu tanda pasukan Siliwangi telah menjejakkan kaki di Parapat pada masa revolusi perjuangan kemerdekaan itu adalah dibangunnya monumen seorang tentara dengan macan di sampingnya di jalan besar menuju Parapat. Lokasinya berada di sisi sebelah kanan jalan raya pada sebuah tikungan sekitar 2 kilometer menjelang pintu masuk kota Parapat. Â
Mengumpulkan kembali ingatan lewat khalwat pendek selama semalam di Parapat tentu saja tidak memadai untuk bisa menyesap sepenuhnya jejak perasaan keterasingan dan kesunyian mencekam yang dirasakan oleh Bung Karno, Kyai Haji Agus Salim, dan Sutan Sjahrir pada masa pengasingan mereka di tempat ini.
Semalam di Parapat, bagi kami dan rombongan mungkin tidak lebih dari upaya "pengasingan diri" untuk menenangkan pikiran, mencari ketenangan batin dari hiruk-pikuk kesibukan sehari-hari yang penuh penat.
Jelas jauh berbeda dengan rasa sunyi pada masa Bung Karno, Sutan Sjahrir, dan K.H. Agus Salim yang "diasingkan" bukan atas kehendak sendiri pada masa pergolakan republik ini.
Catatan:
Khalwat adalah pengasingan diri untuk menenangkan pikiran atau mencari ketenangan batin.
Rujukan: 7 Lokasi Pengasingan Bung Karno, dari Bandung hingga Ende (Kompas.com)