Pada pagi 7 Januari 2024 pesawat yang membawa rombongan kami mendarat dengan mulus di landasan pacu bandara Sukarno Hatta, Cengkareng, sekitar pukul 07.00 WIB. Hawa panas udara segera menyambut begitu keluar dari pintu pesawat.
Untuk seterusnya melanjutkan perjalanan menuju Malang. Perjalanan menuju Malang dengan menumpangi bus yang sudah dipesan sebelumnya.
Pukul 23.44 WIB kami pun tiba di Malang. Singgah di Gedung GBKP Malang, rombongan tidak langsung beristirahat. Kami bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju Gunung Bromo.
Senin, 8 Januari 2024 pukul 01.02 WIB kami bersama rombongan berangkat menuju titik keberangkatan menuju Bromo menggunakan kendaraan jeep dari Tumpang, sebuah daerah di Kabupaten Malang.
Ada Apa di Gunung Bromo?
Kisah ini berawal dari sebuah impian masa kecil sejak 31 tahun yang lalu. Ketika aku pertamakali menemukan sebuah buku yang agak lapuk di rak buku milik kakekku pada 1993, berjudul "Tara Anak Tengger.
Aku membaca buku ini seusai mengerjakan rutinitas setiap sore, sepulang dari ladang membantu kakek dan nenek. Sambil menunggu kakek dan nenekku selesai dengan pekerjaannya dan mandi, menjelang saat makan malam, disitulah aku menyempatkan diri membaca novel itu.
Tara Anak Tengger ikut membentuk awal kecintaanku kepada buku, memunculkan rasa penasaran akan petualangan ke alam terbuka, serta kecintaan kepada budaya. Dari sana juga aku mengenal gambaran upacara "kesodo" yang dilakukan oleh suku Tengger dalam rangka menyambut tahun baru Saka.
Dalam legenda masyarakat Jawa dikisahkan bahwa suku Tengger yang bermukim di lereng Gunung Bromo, ada hubungannya dengan kisah cinta Roro Anteng dan Joko Seger, yang merupakan asal kata suku Tengger.
Upacara ini dilakukan untuk meminta berkat dan perlindungan dari Dewata agar melindungi dusun Mojosari dari segala macam bencana, dengan mempersembahkan sesajen dalam usungan berukir yang berisi kepala kerbau. Dusun Mojosari, saat ini masih ada dan terdaftar secara administrasi termasuk ke dalam wilayah Desa Wonotoro Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo.
Upacara kesodo dipimpin oleh kepala suku Tengger yang berpakaian lengkap memakai kain batik panjang dan destar berwarna hitam. Lengkap dengan keris pusaka yang terselip di pinggangnya.
"Tahun baru kita songsong dengan gembira. Tetapi jangan sekali-kali kita ingkar kepada Dewata,"Â kata kepala suku dengan tenang.
Sesajen dalam baki dengan isi bermacam-macam yang dibawa oleh kaum ibu. Ada yang berisi rempah-rempah dan makanan, ada pula yang berisi kemenyan dan bunga-bungaan.
Dari tiap baki, kepala suku mengambil sejumput, lalu diserakkannya di atas kepala kerbau itu. Lalu katanya, "Tahun baru mudah-mudahan dilindungi oleh Dewata. Dusun Mojosari akan kita jaga menurut naluri nenek moyang kita."
Lalu gamelan pun ditabuh, orang dewasa dan anak-anak kini diperkenankan meminum tuak. Orang-orang menari-nari, setengahnya lagi bernyanyi-nyanyi.
Itu adalah gambaran dalam buku, ketika menuju Bromo kali ini kami memang bukan untuk ikut merayakan upacara kesodo. Namun, cuaca memang sangat dingin, jelas saja dingin karena ketinggian Gunung Bromo adalah 2.329 meter di atas permukaan laut, walaupun dari atas kaldera yang dikenal sebagai daerah lautan pasir itu tinggi puncak Bromo hanya 200 meter.
Brama adalah sebutan lain dari Gunung Bromo. Ini adalah gunung api dengan tipe kerucut sinder dalam kaldera.
Pada masa lalu, keramaian kesodo dirayakan sampai jauh malam. Jika orang-orang sudah lapar mereka bisa menikmati berbakul-bakul nasi jagung dan bermacam-macam gulai daging kerbau yang disajikan bersama berpuluh-puluh bumbung tuak.
Dengan tuak, mereka tidak lagi merasakan hawa dingin dari halimun gunung dan titik-titik embun yang menetes dari daun-daun kayu di lereng Bromo.
Ketika fajar menyingsing, usungan sesajen berisi kepala kerbau itu dibawa menuju kawah gunung Bromo dalam suasana hening, merokok pun tidak boleh. Sesajen itu dipersembahkan ke dalam kawah Bromo kepada Sang Hyang Bromo.
Kata kekek Tara, pada masa nenek moyang mereka, kurban bagi Bromo adalah jiwa dan raga dari seorang remaja bernama Bungsu Kusuma. Dari pengurbanannya itulah lahir turunan orang Tengger sampai kini.
Baca juga: Tara Anak Tengger, Awal Kecintaanku kepada Buku, Petualangan, dan Budaya
Bagaimana Mencapai Bromo?
Pukul 01.36 WIB, bus yang membawa rombongan kami tiba di Tumpang, titik keberangkatan menuju Bromo menggunakan kendaraan mobil Jeep dari Kabupaten Malang. Secara administratif, Gunung Bromo terletak di Cemoro Lawang, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur.
Cara mencapai puncak Bromo dapat dilakukan melalui cara lain, yakni:
1. Lintasan Kab. Probolinggo: Sukapura - Ngadisari sampai ke Cemoro Lawang yang merupakan dinding Kaldera Lautan Pasir yang dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor. Kemudian dilanjutkan dengan lintasan melewati lautan pasir. Pendakian ke puncak dan pematang kawah dapat dilakukan dengan mudah melalui tangga tembok.
2. Lintasan Kab. Pasuruan: Tosari - Jurang Munggal - Lautan Pasir - Bromo.
Jadi, selain menyewa jeep gunung Bromo via Tumpang (Kab. Malang), kita juga dapat menyewa jeep melalui Sukapura, Cemoro Lawang, maupun Tosari (Kab. Pasuruan) dan Wonokitri dengan harga sekitar Rp250.000/ orangnya. Jadi, sewa jeep ke Bromo sekitar Rp1.250.000/ unitnya atau bisa juga berubah, terutama pada saat libur Panjang.
Driver jeep yang kami tumpangi, Mas Nanang, menjelaskan bahwa saat ini ada sekitar 1.000 unit jeep dari titik keberangkatan di Kabupaten Malang, dan total keseluruhannya ada sekitar 2.500 unit jeep dari titik keberangkatan yang ada di Probolinggo, Pasuruan, dan Malang.
Meresapi Kenangan Kisah Tara Anak Tengger Ketika Berada di Bromo
Mendengar nama Tosari, kenangan masa kecilku pun bergejolak. Nama desa itu disebutkan dalam novel Tara Anak Tengger.
Tara dikisahkan tinggal di dusun Mojosari (kini termasuk wilayah Kabupaten Probolinggo). Kisah petualangan Tara bersama teman-temannya (Ganden, Bira, dan Kate) dibalut dengan kisah kearifan lokal dan budaya suku Tengger yang sarat dengan pesan moral.
Bagaimana orang tua seharusnya merasa ikut bertanggung jawab dalam mewariskan nilai-nilai luhur budaya kepada anak-anaknya, karena itulah yang membuat mereka dapat hidup berdampingan dengan Bromo dan alam lingkungan sekitarnya yang lestari.
Ada satu bagian kisah dari Tara Anak Tengger yang cukup menggugah hati. Tatkala Tara dan teman-temannya, yang sejak tinggal di dusun Mojosari hingga dusun Agung, hanya tahu menggembala ternak, membantu orang tua mengolah ladang, hingga bermain ke sungai seharian. Mereka melihat sekolah di desa Tosari ketika mereka mengungsi saat Bromo meletus.
Dilansir dari Wikipedia, Tosari kini adalah nama sebuah kecamatan di sebelah Tenggara Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kecamatan ini berada di Pegunungan Tengger dengan ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut dengan suhu udara rata-rata 5 - 10 derajat Celcius.
Letak geografis itu menjadikan Kecamatan Tosari sebagai kecamatan tertinggi di Jawa Timur dan salah satu yang tertinggi di Pulau Jawa, di mana sebagian besar penduduknya merupakan suku Tengger.
Menarik untuk diketahui bahwa Tosari merupakan wilayah tanam strategis nasional penghasil gandum. Uji adaptasi benih gandum dilakukan di Kecamatan Tosari pada tahun 2001, selanjutnya dikembangkan sampai dengan tahun 2005 juga di Puspo dengan luas tanam 135 Ha dengan hasil produksi mencapai 1,2-2 Ton/Ha.
Hingga tahun 2006, tanaman gandum dikembangkan di 7 (tujuh) kecamatan meliputi Tosari, Puspo, Tutur, Purwodadi, Purwosari, Prigen, dan Lumbang dengan produksi yang diharapkan di atas 2 Ton/Ha.
Gambaran ini sekaligus menjelaskan mengapa Tara dan para sahabatnya terperangah melihat kemajuan peradaban manusia di Tosari dibandingkan keadaan mereka di dusun asal mereka, Mojosari dalam novel itu.
Dikisahkan, saat mereka mengungsi Ketika Bromo Meletus, mereka melihat anak-anak desa Tosari berbaris, lalu masuk seorang-seorang ke dalam bangsal yang ternyata adalah bangunan sekolah. Tara berulang-ulang bertanya dalam hatinya, mengapa di dusun mereka tidak ada orang yang mendirikan sekolah.
Suatu ketika ayahnya menjawab pertanyaan Tara, yang sangat menarik perhatiannya ketika ia lihat di Tosari. "Karena tidak mempunyai apa-apalah, maka kita harus bekerja keras! Di Tosari, semuanya yang engkau lihat itu bagus. Itu adalah hasil orang Tosari membanting tulang. Dahulu negeri itu sama juga halnya dengan dusun kita,"Â kata ayahnya.
Pada kisah selanjutnya diceritakan bahwa pada akhirnya Wedana Tosari datang ke dusun Agung, dan mengumumkan bahwa mulai Senin depan di dusun itu pun akan dibuka sekolah. Kata Wedana, "Anak-anak harus dididik, mereka harus cerdas dan menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan tanah airnya." Dia menyerahkan bendera merah putih, bendera kebangsaan Indonesia untuk dikibarkan di tiang yang terpancang di halaman balai desa.
Masuk dari Tumpeng Malang, kami memang tidak melewati dusun Mojosari dan desa Tosari sebagaimana nama-nama tempat yang disebutkan dalam novel itu. Tapi kami melintasi sebuah desa bernama Ngadas. Desa ini termasuk wilayah Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur.
Menariknya, di savana Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, yang dilintasi saat menuju spot sunrise, ada banyak tumbuh tanaman berbunga yang diberi nama "adas" oleh masyarakat setempat. Menurut mas Nanang, adas adalah bahan untuk membuat minyak telon, aroma tanaman ini memang enak.
Kata mas Nanang, adas adalah asal kata nama desa Ngadas, yang sebagian besar penduduknya merupakan suku Tengger. Oleh orang-orang suku Tengger yang ada di desa Ngadas, adas dijadikan juga sebagai bahan lalapan.
Di akhir kaldera lautan pasir, di ujung jalan aspal menanjak menuju spot sunrire yang kata mas Nanang berada di ketinggian 2.700 mdpl, aku melihat sebuah patung yang diam membisu di tengah dinginnya kabut Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Kata mas Nanang nama benda itu adalah Padmasari, tidak hanya masyarakat setempat, dan wisatawan, mereka para driver juga rutin memberikan ungkapan syukurnya atas berkat alam dari Sang Maha Pencipta yang mereka terima dalam bentuk rezeki dan nafas kehidupan setiap hari dan meletakkannya di Padmasari.
Melihat Matahari Terbit dari Balik Bromo
Pada sekitar pukul 04.00 WIB kami tiba spot sunrise yang dituju. Sebagian orang duduk berdempetan di atas sehelai tikar, Sebagian lagi berdiri menghadap ke arah lembah lautan pasir dan savana Bromo yang masih terbalut siluet kabut yang terkesan misterius.
Matahari Terbit di Bromo
Tak salah, belum lama berselang, Bounce, sebuah platform layanan perjalanan yang berbasis di San Francisco, California, Amerika Serikat, merilis laporan The World's Most Beautiful Parks 2023, menobatkan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) sebagai taman nasional terindah ketiga di dunia, setelah Taman Nasional di Afrika Selatan dan di Brasil. Untuk urusan wisata alam yang indah, Indonesia memang seperti tidak ada obatlah, pikirku.
Lebih dari itu, memandang Bromo dalam balutan kenangan masa kecil dari buku Tara Anak Tengger adalah pengalaman yang sangat berharga dan akan selalu dikenang. Untung saja bulir air mata bahagia tidak tampak di saat fajar belum tiba. Hehe ...
Bromo dan kisah dalam buku Tara Anak Tengger ini, memberikan pengajaran bahwa penghormatan terhadap kearifan lokal dan nilai luhur budaya kita berperan untuk mengantarkan kita selamat menjalani hidup di dunia baru yang serba berubah. Seperti Bromo yang keramat itu, dari sana bisa datang malapetaka, tetapi dari sana pulalah matahari terbit membawa sejuta harapan saat fajar tiba setiap kali hari berganti.
Mejuah-juah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H