Sepeninggal para pengejar itu, burung balam itu pun terbang meninggalkan pohon di depan mulut gua. Burung balam itu tampak senang karena nenek moyang si Tarigan selamat dari pengejaran musuh-musuhnya.
Di dalam gua dekat Tungtung Batu itu nenek moyang si Tarigan itu erbilawan (bersumpah dalam bhs. Karo) bahwa ia dan keturunannya tidak akan pernah memakan daging burung balam sepanjang zaman. Itulah sebabnya sampai sekarang marga Tarigan memantangkan memakan daging burung balam.
Nenek moyang si Tarigan ini mendirikan barung-barung (gubuk dalam bhs. Karo) di dekat gua batu itu. Ia menikah dengan gadis dari desa yang berada tidak jauh dari tempat itu, dari pernikahannya lahirlah anak-anaknya laki-laki dan perempuan.
Barung-barung itu pun menjadi semakin ramai dihuni keluarga dan keturunannya. Mereka menamai kampung itu Kuta Tungtung Batu, artinya kampung lubang batu.
Keturunan nenek moyang si Tarigan ini antara lain Sipengeltep, Tarigan Sibero, Tarigan Purba di Simalungun, Tarigan Girsang, Tarigan Tua, Tarigan Silangit, Tarigan Tambak, Tarigan Tegur, Tarigan Bondong, Tarigan Tambun, Tarigan Pekan, Tarigan Gerneng, Tarigan Jampang, Tarigan Gana-gana.
Nenek moyang si Tarigan ini adalah orang dari ras Proto Melayu yang berdiam di gua batu, dan suku marga Tarigan termasuk asli suku Karo. Oleh karena dia termasuk keturunan ras Proto Melayu yang menjadi suku bangsa Haru, maka Tarigan ini turut membawa peranan penting dalam kerajaan tua Nagur di dekat Cingkes.
Namun, di daerah Tanah Tinggi Karo, marga Tarigan tidak turut membawa peranan penting. Dia tidak turut menjadi golongan raja Raja Berempat, hanya di Juhar dia sebagai perbapan (Raja Urung).
Semoga bermanfaat. Mejuah-juah.
Rujukan: