Kerajaan Nagur di sekitar Cingkes yang sekarang, rajanya dari marga Tarigan. Setelah hancur pada pertengahan abad ke-13, kampungnya dipindahkan oleh marga Tarigan dan diberi nama Cingkes. Kuta Nagur Tarigan itu sekarang dinamakan Kerangen Nagur.
Mengutip penjelasan pada buku "Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman Jilid I" yang ditulis oleh Brahma Putro (1995), bahwa ras Proto Melayu yang menjadi suku bangsa Haru sudah sejak ribuan tahun silam mendiami pegunungan Bukit Barisan. Suku bangsa Haru yang berasal dari ras Melayu Tua inilah yang menjadi nenek moyang asli orang Karo.
Artefak-artefak "gua umang" yang benyak terdapat di daerah Karo dan Pakpak sebagai tempat kediaman ras Proto Melayu, menjadi bukti  bahwa masyarakat Haru yang menjadi nenek moyang suku Karo, Pakpak, Simalungun, Gayo, Singkel, Keluat bukan berasal dari keturunan seorang kepala keluarga di Sumatera, tetapi berasal dari beberapa kepala keluarga pada zaman Melayu Tua itu.
Arti kata "Tarigan" tidak ditemukan di dalam kamus bahasa Karo. Namun, ada catatan tersendiri mengenai asal usul marga Tarigan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Catatan itu bukan dalam bentuk tulisan di atas kertas atau di kulit kayu, tapi diwariskan dari mulut ke mulut, baik di Simalungun, Pakpak, Alas, Gayo, maupun di Karo.
Pada zaman pra sejarah nenek moyang Tarigan hidup di gua batu dekat kampung Tungtung Batu, Pakpak, Kabupatan Dairi (pada masa buku ini ditulis). Pada suatu ketika terjadi perkelahian antara nenek moyang si Tarigan ini dengan penduduk yang bermukim tidak jauh dari gua tempat tinggalnya itu.
Nenek moyang marga Tarigan ini melarikan diri ke sebuah gua batu. Pada pintu gua batu itu tumbuh pepohonan yang menutupi pintu gua.
Setelah nenek moyang si Tarigan itu bersembunyi di dalam gua, bertenggerlah seekor burung balam di pohon pada mulut gua, kemudian berkukuk dengan merdu, berulang-ulang.
Ketika musuh yang mengejar nenek moyang si Tarigan itu tiba di depan pintu gua, mereka mendengar suara kukuk burung balam yang merdu dan berulang-ulang itu. Mereka beranggapan bahwa tidak mungkin nenek moyang si Tarigan itu masuk ke dalam gua, karena di pintu gua hinggap seekor burung balam yang berkukuk merdu.
Bila ada manusia di dalam gua tentu burung balam itu tidak akan mau hinggap dan berkukuk dengan tenang di sana, pikir mereka. Mereka pun meninggalkan pintu gua dan melanjutkan pengejarannya. Selamatlah nenek moyang si Tarigan itu.