Rumah mereka yang berada di areal kesain mbelang (pelataran luas, terj. dari bhs. Karo) dulunya juga berupa rumah adat Karo dengan ukuran kecil. Namun, karena sudah termakan usia, maka mereka dengan biaya sendiri merenovasi dan mengubah bentuknya ke model rumah sederhana sebagaimana umumnya kini, berlantai semen, dinding papan, dan atap seng.
"Beberapa waktu lalu baru runtuh satu rumah lagi (yang berbentuk rumah adat Karo). Jadi sekarang tinggal dua itulah," kata iting Juhar.
4. Pancuran Lau Tak Tuk
Kamar mandi umum atau pancuran warga desa yang dulu dibangun oleh Belanda masih ada hingga hari ini. Kata nande Indra, warga Lau Simomo menamakan pancuran itu "Lau Tak Tuk."
Katanya karena besarnya sumber mata airnya sehingga menghasilkan bunyi "tak ... tuk ..., tak ... tuk ...." Sumber mata air ini masih digunakan oleh warga desa untuk kebutuhan sehari-hari, meskipun sekarang sudah ada juga sumur bor yang dibangun oleh pemerintah desa.
Iting Juhar atau yang bernama lengkap Nurlia Br Ginting ini sedang menganyam tikar di depan pintu rumahnya. Dengan raut wajah berseri, ia menceritakan kenangan dari sekitar 5 tahun yang lalu. Katanya, Paul, seorang cucu dari mendiang Pdt. J. H. Neumann, membeli 3 helai tikar bengkuang hasil anyamannya ketika ia datang berkunjung ke Lau Simomo, dan membawanya ke Belanda.