3. Lokasi itu sangat sejuk udaranya dan indah pemandangannya, juga subur sehingga cocok untuk pertanian.
Usulan ini mendapat dukungan dari seluruh peserta sidang. Disepakati agar pemerintah daerah, yakni para sibayak, raja urung, dan pengulu di seluruh Tanah Karo agar mengumumkan (ngemomoken, bhs. Karo) keputusan itu kepada warganya yang mengidap penyakit kusta agar pindah ke pemukiman tersebut mulai tanggal 25 Agustus 1906.
Itulah asal mula nama "Lau Simomo", tanggal itu menjadi tanggal berdirinya pemukiman pengidap kusta Lau Simomo. "Lau" berarti air atau sungai, "momo" berarti pengumuman.
Jumlah penderita kusta yang datang pada hari pertama pemukiman itu dibuka ada 25 orang. Hingga bulan Februari 1907 jumlah penghuni pemukiman itu menjadi 72 orang, dan pada tahun 1924 penghuninya sudah ada 400 orang.
Kata seorang ibu bernama nande Indra yang juga adalah pasien pengidap kusta yang sudah sembuh, pasien pengidap kusta yang saat ini menetap di Lau Simomo ada sebanyak 300 jiwa. Nande Indra ini berasal dari Aceh, ia adalah orang Gayo.
Belasan tahun yang lalu, ia dan keluarganya pindah dari Huta Salem, Lagu Boti ke Lau Simomo. "Pasien kusta yang tinggal menetap di Lau Simomo kini lebih banyak dari di Huta Salem," katanya.
Suasana yang indah saling mengasihi dan penuh toleransi di antara sesama pengidap kusta di kampung yang baru ini membuat mereka dapat merasakan sukacita dan bahagia. Sejak awal, prinsip pelayanan di pemukiman Lau Simomo adalah "Dilayani agar mampu melayani diri sendiri dan orang lain."
Rasa senasib sepenanggungan mempererat hubungan kekerabatan mereka. Desa Lau Simomo mereka sebut sebagai "Kuta Keriahen", desa sukacita.
Beberapa Peninggalan Menarik yang Masih Bisa Dijumpai di Lau SimomoÂ
1. Bangunan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Lau Simomo