Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menapaki Jejak Sejarah Pemukiman Kusta Lau Simomo

15 April 2023   02:51 Diperbarui: 15 April 2023   13:35 2292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana jalan desa menuju kamar mandi umum di Lau Simomo (Dok. Pribadi)

Itu adalah perasaan takut terhadap para pengidap lepra (kusta) yang dikaitkan dengan hal-hal yang tidak rasional, supranatural, kutuk, tulah, dan sebagainya. Akibatnya tidak saja mengalami sakit secara fisik, para pengidap kusta juga mengalami penderitaan terkait masalah sosial, psikologis, dan ekonomi.

Atas dasar itulah, pendeta Van den Berg memulai pelayanannya dengan memfungsikan rumah tempat tinggalnya di Kabanjahe menjadi poliklinik dan depot obat. Pasien mulai banyak berdatangan, dua kamar di rumahnya difungsikan sebagai tempat pemondokan bagi para pengidap kusta.

Dengan semakin banyaknya pengidap kusta datang ke Kabanjahe untuk berobat, sementara di sisi lain masyarakat merasa ngeri berdekatan dengan mereka, maka lambat laun hal ini menjadi masalah di kalangan masyarakat Kabanjahe. Masyarakat mengajukan keberatan kepada pemerintah melalui asisten residen Western Berg yang berkedudukan di Seribudolok.

Atas dasar itulah asisten residen mengusulkan agar semua penderita kusta di Tanah Karo diasingkan ke Huta Salem di Laguboti, Tapanuli. Itu adalah pemukiman kusta yang telah dibangun oleh Rheinsche Zending pada 5 September 1900.

Namun, pendeta Van den Berg tidak setuju dengan usulan itu karena menurutnya hanya akan menambah penderitaan mereka. Konsep penanganan pengidap kusta menurutnya haruslah memanusiakan manusia.

Pemukiman itu harus ditata bernuansa pemukiman masyarakat Karo sendiri, hidup dalam struktur dan sistem sosial masyarakat Karo, diberikan kebebasan kawin mawin di antara sesama penderita, diberikan kebebasan mengembangkan budaya dan ekonominya, serta harus mampu membuat mereka merasakan kasih Allah di pemukiman itu agar para penderita merasa tetap berada dalam lingkungannya sendiri.

Konsep yang dia sampaikan dengan landasan kasih Allah dan penuh kelemahlembutan itu mampu meluluhkan hati asisten residen dan Sidang Kerapatan Balai Raja Berempat. Itu adalah sebuah sidang tertinggi dalam sistem pemerintahan masyarakat Karo pada masa itu.

Adalah sibayak Pa Pelita, sibayak (penguasa) Kabanjahe yang merupakan salah satu peserta sidang pada waktu itu. Ia terkesan dengan usulan pendeta Van den Berg karena salah satu anggota keluarganya bernama Marih Purba juga mengidap kusta.

Ia mengusulkan agar lokasi pemukiman tersebut ditetapkan di Lau Simomo. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan memilih lokasi di Lau Simomo adalah karena:

1. Lokasi itu jauh dari perkampungan penduduk, sehingga tidak akan mengganggu masyarakat sekitarnya;

2. Pada lokasi itu ada sebuah mata air yang mengalir sejauh 1 km dan akhirnya menghilang (terserap) ke dalam tanah, sehingga penduduk sekitar tidak akan takut ketularan kuman-kuman penyakit yang hanyut ke hilir karena airnya terserap ke dalam tanah;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun