Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menapaki Jejak Gereja Pertama dan Jalur "Perlanja Sira" di Buluh Awar

15 Februari 2023   02:43 Diperbarui: 17 Februari 2023   09:35 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Napak tilas pada seruas rute perlanja sira di Desa Buluh Awar (Dok. Pribadi)

Jalur perlanja sira ini juga muncul dalam buku "Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman Jilid I" tulisan Brahma Putro. Pada masa itu ada upaya penaklukan kerajaan Haru Wampu di Kutabuluh oleh kerajaan Majapahit yang berlangsung selama 6 tahun (1340-1346) melalui operasi Pamalayu, tapi gagal.

Disebutkan pada buku tersebut bahwa laskar kerajaan Majapahit yang langsung dipimpin Patih Gajah Mada datang dari laut (kemungkinan pantai Timur Sumatera/ Belawan) mengikuti aliran sungai Seruai sampai ke hulunya di desa Tongkeh, di kaki gunung Barus sekarang ini. Jurusan lainnya mengikuti sungai ular/ sungai buaya terus ke hulunya menuju gunung Barus.

Satu jurusan lagi adalah jalur yang mengikuti aliran sungai Petani yang juga bermuara di kaki gunung Barus. Ini adalah jalur-jalur yang juga dikisahkan sebagai jalur "perlanja sira" dalam dokumentasi sejarah penginjilan oleh misionaris NZG.

Masih dari buku yang sama, dijelaskan bahwa menurut Dr. Masri Singarimbun, seorang antropolog yang juga suku Karo, sekitar abad ke-16 Masehi terjadi erupsi gunung Sibayak yang cukup dahsyat. Akibat dari erupsi itu jatuh korban jiwa yang banyak dan kerusakan perkampungan, rumah-rumah, dan harta benda tertimbun material vulkanik.

Beberapa tahun sesudah peristiwa erupsi Gunung Sibayak itu barulah penduduk di dataran tinggi Karo dari urung Sukapiring, urung VII kuta (Barusjahe), urung VI kuta (Sukanalu), urung XII kuta, urung III kuru, dan urung Teran pindah ke dataran rendah yang disebut Karo Jahe. Urung adalah kesatuan wilayah pemerintahan Karo pada masa dulu yang terdiri atas beberapa kampung atau disebut kuta dalam bahasa Karo.

Penduduk-penduduk yang pindah itu umumnya adalah kaum pedagang garam yang dinamai "perlanja sira." Hipotesa ini dibuktikan oleh riwayat berdirinya kampung-kampung Karo di sekitar kecamatan Sibolangit yang masih ada sampai saat ini, antara lain Martelu, Sikeben, Cingkam, Ketangkuhen, dan Buluh Awar.

Benang merah antara cerita rakyat perjalanan nenek moyang orang Karo dalam kisah perjalanan Karo dan Miansari, setidaknya dari pelabuhan Belawan-Medan hingga kaki gunung Deleng Barus-di dataran tinggi Karo menurut tutur lisan dari kakek Kol. (Purn) Sempa Sitepu itu, dengan rute kedatangan laskar Majapahit menuju kerajaan Haru Wampu di Kutabuluh melalui pintu masuk di kaki Deleng Barus, identik dengan apa yang disebut sebagai jalur "perlanja sira" yang juga muncul dalam kisah pekabaran Injil bagi orang Karo pada abad yang lebih modern kemudian, pada tahun 1890.

Itu adalah catatan sejarah yang cukup panjang, jauh sebelum kedatangan kolonial Belanda ke dataran tinggi Karo. Pada masa itu sudah ada sekelompok kecil pedagang yang membawa garam dari dataran rendah (Sumatera Timur dan sekitarnya) ke dataran tinggi Karo yang dikenal sebagai "perlanja sira." Bila diterjemahkan, "perlanja sira" berarti pemikul garam, sebab begitulah pada masa itu mereka membawa garam dan hasil-hasil bumi lainnya untuk diperdagangkan secara barter, dipikul.

Menurut penelitian De Haan pada tahun 1870, selain garam, perlanja sira juga biasa membawa ikan kering, linen, perhiasan, tembikar, periuk, senapan, bumbu, timah, kapur, dsb dari dataran rendah. Sedangkan dari dataran tinggi mereka membawa kapas, pinang, kelapa, sirih, gambir, gula merah, tembakau, dan hasil bumi lainnya dari alam pegunungan sebagai alat tukar.

Menurut Anderson sebagaimana dikutip oleh L. Peranginangin, perjalanan antara dataran tinggi Karo ke dataran rendah pada masa itu membutuhkan waktu 6 hari. Medan yang ditempuh berupa jalan yang curam dan terjal serta kondisi alam yang ekstrem. Oleh sebab itu, pada masa sebelum jalan Kabanjahe - Medan yang sekarang dibuka dan dapat dilalui kendaraan, segala lalu-lintas barang dan kegiatan perekonomian di dataran tinggi Karo sangat bergantung kepada perlanja sira.

Gambaran tentang desa Buluh Awar dalam jejak sejarah menyangkut jalur lintasan perlanja sira pada masa yang jauh sebelum adanya jalan raya dan beroperasinya moda transportasi modern menjadi sebuah alasan yang sangat logis mengapa Pdt. H. C. Kruyt memilih lokasi pos penginjilan pertamanya di Buluh Awar. Di sana terjadi pertemuan banyak orang dengan berbagai kepentingan, di sana terjadi perdagangan, pertukaran barang dan jasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun