"Yang ada dalam benak saat melihat foto ini, ada aroma ikan nila yang hangat di atas bara api, ditemani kopi hitam hangat dalam gelas motif cicak, aiihhhh ...."
Seorang teman, kompasianer dari Nusa Tenggara Timur, mengirimkan komentar. Bagiku, bisa jadi bagi orang lain juga, cerita tentang Buluh Awar mungkin akan selalu dan selamanya terhubung dengan kisah tentang inkulturasi, akulturasi, dan oikumene dalam arti yang luas.
Kendaraan kami melaju cukup kencang di atas jalan aspal hotmix. Jalanan meliuk naik turun di bawah kanopi bentang muka bumi yang termasuk kawasan Taman Nasional Bukit Barisan.
Udara terasa segar dengan suasana alam pegunungan dan perbukitan yang asri, hari hampir pukul delapan pagi. Kami mengejar jadwal ibadah Minggu pagi pada sebuah acara bagi kaum bapa (mamre) Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di desa Buluh Awar.
Pukul delapan lebih lima menit kami tiba di lokasi acara. Desa Buluh Awar yang setiap jengkal tanahnya menyimpan catatan sejarah telah bertransformasi menjadi desa wisata rohani yang asri dan sedap dipandang mata.
Sebuah rumah bergaya inkulturatif Minahasa, simbol hubungan orang Minahasa dan orang Karo dalam sejarah pekabaran Injil di Tanah Karo, serta hamparan kolam ikan di halaman depannya dengan penuh kedamaian menyambut setiap orang yang datang ke sana. Di seberang kolam ikan, setelah meniti jembatan bambu dan melintasi hamparan sawah yang baru ditanami tampak berdiri megah dan anggun sebuah bangunan unik yang terbuat dari bambu.
Bangunan itu adalah gedung Kebaktian Anak/ Kebaktian Remaja (KA/KR) Majelis Jemaat GBKP Buluh Awar, yakni kategorial anak sekolah minggu dan remaja di GBKP. Berjalan lebih dalam ke arah perkampungan, kita segera akan menjumpai bangunan gereja GBKP Buluh Awar yang merupakan "Titik 0 GBKP" yang kini sudah menjadi "Museum Zending Pekabaran Injil dan Taman Bacaan GBKP Buluh Awar".