Denting suara logam yang beradu dengan palu di atas landasan bengkel bersahaja pada masa itu, bagiku adalah sebuah penanda eksitensi teknologi di desa, yang bahkan canggih pada masanya. Denting suara logam bertalu-talu menyiratkan bahwa di sana ada keahlian dan keterampilan, yang membutuhkan perhitungan dan kecermatan, sekalipun tampilannya tampak kumal dan berdebu.
Pada Rabu, 14 Desember 2022 yang lalu aku kebetulan bertemu dengan pak Tarigan di sebuah balai pertemuan saat menghadiri acara adat kematian kerabat kami.Â
Pak Tarigan adalah orang yang kukenal sebagai seorang pandai besi sejak masa kecilku di desa Serdang, Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo.
Aku masih mengingat dengan jelas kegemaranku setiap pulang sekolah menonton bapak ini bekerja membuat pisau atau parang di bengkel bersahaja miliknya. Itu adalah masa-masa sekitar tahun 1992, atau 30 tahun yang lalu.
Sebuah perapian tempat ia memanaskan pelat besi atau pelat baja untuk ditempa adalah bagian bengkel ini yang paling aku kagumi. Aku suka mengamat-amati "mesin" unik ini sambil duduk di atas tanah atau berjongkok.
Perapian ini berbentuk sebuah meja persegi empat yang ditopang 4 kaki meja setinggi kurang lebih 70 centimeter, dengan bak berisi abu dapur sisa pembakaran dan kulit kemiri yang merupakan bahan bakar utama perapian. Di tengah bak itu tersusun batu bata yang berfungsi sebagai tungku pembakaran.
Api yang menyala pada tungku pembakaran dihasilkan dari tiupan kipas angin sederhana. Kipas angin ini menyerupai baling-baling yang terhubung dengan karet ke velg bekas roda mobil yang bisa berputar. Putaran ini dihasilkan dari ayunan pedal kayu yang digerakkan secara ritmis dengan kaki.
Setiap kali pak Tarigan menginjak pedal kayu itu, tiupan angin yang dihasilkannya membuat bara api dari kulit kemiri yang terbakar semakin marak di tungku.Â
Pemandangan rangkaian proses mekanis itu bukan main menakjubkannya bagiku. Pada masa itu aku belum mengerti hukum fisika, rumus-rumus mekanika, dan gaya yang bekerja pada benda-benda dari seluruh rangkaian proses itu.
Pelat besi atau pelat baja yang menjadi bahan baku pembuatan pisau atau parang sesuai pesanan itu ada yang berasal dari per mobil, truk, traktor, dan lain sebagainya. Dengan panas maksimal yang konstan di tungku unik itu, semua bahan logam jadi merah membara dan siap untuk ditempa sesuai keinganan sang pandai besi.
Pandai besi yang dalam bahasa Karo disebut "pande besi", atau blacksmith dalam bahasa Inggris, adalah orang yang pekerjaannya membuat alat-alat dari besi atau baja.Â
Alat-alat itu mencakup alat-alat pertanian seperti cangkul, arit, kapak, pisau, parang, dll, serta alat-alat yang berfungsi sebagai senjata. Selain membuat alat baru, pandai besi juga dapat mengasah alat yang lama supaya tajam kembali.
Setelah besi atau baja panas, maka selanjutnya bahan-bahan itu ditempa. Menempa berarti memproses pengerjaan logam dalam keadaan panas dengan cara memukul dengan palu di atas landasan.Â
Landasan ini biasanya digunakan paron, tapi di bengkel pak Tarigan landasan itu terbuat dari sebuah batangan logam tebal yang tertancap pada log kayu.
Ia menjepit logam panas itu dengan penjepit besi, lalu memukulnya dengan teratur di atas landasan sambil membolak-balikkannya. Bila dirasanya sudah cukup mencapai bentuk dan kelembaman yang diinginkan maka selanjutnya ia mencelupkan logam panas itu ke sebuah palungan dari bambu yang berisi air.
Kontan saja aksi itu menyebabkan suara berdesis, ketika logam panas bertemu dengan air yang dingin. Asap mengepul, air dalam palungan itu pun seperti mendidih. Itu adalah proses menyepuh, belakangan aku baru tahu bahwa maksud dari tindakan mencelupkan logam panas ke dalam air itu adalah untuk mengeraskan bahan tempaan, apakah itu pisau, parang, sabit, dan sebagainya.
Setelah itu barulah tahap menghaluskan dan menajamkan. Untuk membersihkan dan menghaluskan permukaan serta untuk menajamkan mata pisau, parang, sabit, dan sebagainya, pak Tarigan menggunakan kikir.
Logam tempaan yang akan dikikir itu dijepit pada sebuah alat penjepit untuk memudahkan prosesnya dan meminimalkan kecelakaan kerja. Kikir adalah alat perkakas tangan yang berguna untuk pengikisan benda kerja secara manual.
Langkah selanjutnya, pak Tarigan akan membuatkan gagang dari kayu untuk pisau atau parang, yang dalam bahasa Karo disebut sungkul. Gagang kayu untuk cangkul dalam bahasa Karo disebut sengkir.
Pada masa sekitar tahun 1992 itu ada dua orang pandai besi di desa Serdang. Saat ini hanya tersisa pak Tarigan seorang, teman yang satu keahlian dengannya itu sudah lebih dahulu berpulang kepada sang Maha Pencipta.
Kata pak Tarigan, kini tidak ada seorang pun lagi di desa ini yang berkeinginan untuk mempelajari sekaligus mewarisi keahlian dan keterampilan sebagai seorang pandai besi. Pak Tarigan sendiri kini hanya menempa besi di bengkelnya bila ada pesanan, dan bahannya dibawa sendiri oleh pemesan.
Hari ini, ketika saya dan keluarga berziarah ke kuburan bapak di desa Serdang, aku menyempatkan diri singgah mengambil beberapa foto di bengkel pandai besi pak Tarigan ini. Susunan dan alat-alat kerja di bengkel pandai besi ini tampaknya masih sama dengan situasi pada masa puluhan tahun yang lampau.
Hanya lokasi bengkel ini saja yang sudah pindah. Satu lagi, suasananya tampak semakin sepi. Sesaat itu membuatku semakin merindukan masa kecil dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H