Kisah tentang berdirinya kerajaan Barusjahe akan menghubungkan kita dengan cerita tentang sebuah tempat bernama Barus. Saat ini Barus adalah kecamatan yang termasuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Hubungan kerajaan Barusjahe yang berada di Tanah Karo dengan tempat bernama Barus yang berada di tepi Samudera Hindia, pantai Barat Sumatera itu, sebagaimana dikutip dari buku "Barus Mergana" (1977), ditulis oleh S.M. Barus.
Perkiraan dari Klaudius Ptolemaeus, seorang ahli geografi, astronomi, dan astrolog yang lahir pada tahun 100 Masehi di Alexandria, Mesir, sebagaimana dituliskan oleh M. Joustra dalam buku "Batak Spiegel" (1926), dan dikutip pada buku di atas, Barus sudah ada lebih kurang sejak tahun 150 Masehi.
Barus sudah terkenal sejak zaman Firaun di Mesir. Kapur Barus dan kemenyan adalah komoditas utama perdangan yang diambil orang-orang Mesir dari Barus untuk kepentingan pembalseman mumi.
Kapur barus berasal dari pohon kapur barus yang telah berusia lama. Karena manfaatnya yang diketahui sangat besar dalam dunia pengobatan jauh sebelum dikenalnya ilmu kimia modern, terjadilah eksploitasi kapur barus yang berlebihan sehingga tidak ada lagi regenerasi dari pohon ini.
Karena potensi dan letaknya yang strategis, Barus sempat dikuasai secara bergantian pada masa dahulu antara lain oleh kerajaan Majapahit, Inggris, Portugis, Aceh, dan Belanda. Dalam seminar sejarah Islam pada 17-20 Maret 1963 di Medan, ada yang mengatakan bahwa agama Islam di Indonesia tersebar mulai dari Barus, walaupun sebagian lagi mengatakan mulai dari Kerajaan Pasai, sekitar tahun 700-800 Masehi.
Baca juga:Â Menjalin Indonesia dari Titik Nol Barus dalam Balutan Sumpah Pemuda
Meninggalkan Barus
Dituturkan secara lisan oleh ayah dari penyusun buku "Barus Mergana", S.M. Barus, yang juga merupakan raja terakhir kerajaan Barusjahe, nenek moyang marga Barus pada suku Karo diyakini berasal dari Barus yang bersejarah itu. Barus merupakan salah satu sub marga dari cabang marga Karo-karo pada suku Karo.
Konon pada masa dahulu kala, seorang pemuda keturunan orang terpandang yang diyakini sebagian orang sebagai raja di Barus jatuh hati kepada seorang gadis yang menurut aturan adat sebenarnya tabu untuk dia nikahi. Pemuda ini sangat mencintai sang gadis, mereka pun pergi meninggalkan Barus merantau tanpa tujuan yang jelas.
Setelah berpuluh-puluh hari berkelana, melintasi rimba, gunung, lembah, dan sungai, hidup dengan memakan buah dan dedaunan, menghadapi berbagai ancaman di hutan, tibalah mereka pada sebuah kampung yang disebut kuta Usang. Kampung ini pada masa sekarang termasuk wilayah Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.
Sesuai kebiasaan pada masa itu, setiap orang yang baru tiba di sebuah kampung wajib melapor ke raja atau pemimpin kampung itu. Raja kampung Usang menanyakan nama dan asal usul mereka berdua.
Pemuda itu mengaku bernama Barus. Nama kampung asalnya dan alasan mereka meninggalkan kampung tidak dijelaskan sebenar-benarnya, karena takut mereka akan diusir oleh raja.
Dari kejadian inilah ia dikenal oleh keturunannya dengan sebutan appung Barus. Namanya dan nama tempat asalnya kemudian menjadi nama cabang marga bagi keturunannya, Barus.
Pemuda ini mengakui gadis yang bersamanya sebagai istri. Ia meminta izin dari raja untuk bisa tinggal di kampung Usang hingga mereka meneruskan perjalanan selanjutnya.
Raja sangat senang dan mengasihi mereka berdua. Sejak appung Barus dan istrinya tinggal di kampung Usang, raja mendapatkan banyak sekali kapur barus. Sebelumnya tidak pernah seperti itu.
Raja percaya bahwa ini semua adalah berkat keberuntungan dari appung Barus. Raja semakin mengasihinya dan menganggapnya sebagai saudaranya sendiri. Ia meminta mereka berdua agar tinggal menetap di kampung Usang.
Warga kampung Usang juga sangat senang melihat appung Barus dan istrinya yang baik budi, tutur kata, dan tingkah lakunya. Hingga pada suatu hari mereka mulai merasa ada yang salah, kampung mereka sering ditimpa musibah kebakaran dan wabah penyakit.
Warga kampung bertanya kepada orang pintar (dukun) di kampung itu bagaimana cara menghentikan musibah yang menimpa mereka. Sang dukun berkata bahwa di antara warga kampung ada yang melanggar aturan adat karena menikah dengan pasangan yang ditabukan (erjabu sumbang, bhs. Karo). Pasangan itu harus diusir dari kampung kalau ingin musibah yang menimpa warga kampung berhenti.
Semua orang mengetahui asal-usul dan riwayat pernikahan warga kampung, kecuali pernikahan appung Barus dan istrinya. Warga kampung pun menanyakan perihal itu, appung Barus mengakui bahwa pernikahannya melanggar aturan adat.
Dengan berat hati, raja pun mengusir appung Barus dan istrinya dari kampung Usang atas desakan warga kampung. Appung Barus dan istrinya meneruskan pengembaraannya tanpa tujuan yang jelas.
Tiba di Ajinembah dan Kisah "Palas Si Pitu Ruang"
Setelah berjalan melintasi rimba dengan berbagai ancaman yang menghadang beberapa hari lamanya, tibalah appung Barus dan istrinya di perladangan warga desa yang belakangan diketahui sebagai perladangan desa Ajinembah. Desa Ajinembah kini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Di sana, appung Barus dan istrinya bertemu dengan seorang gadis yang sedang menghalau burung-burung pemakan padi. Appung Barus menjelaskan siapa dia dan dari mana asalnya. Ia memohon agar si gadis mengizinkan mereka menginap di gubuk tengah ladang miliknya.
Dari sanalah kaitan kisah appung Barus, nenek moyang raja-raja Barusjahe itu, dengan cerita tentang "Palas Si Pitu Ruang" dimulai. Pemimpin desa Ajinembah yang disebut Pengulu Ajinembah bergelar Raja Sembahen bermarga Ginting Munte, pada saat itu sedang membuat acara peresmian rumahnya yang diberi nama "Rumah Si Pitu Ruang."
"Rumah Si Pitu Ruang" berdiri di atas tiang-tiang fondasi yang tinggi. Namun, kini rumah ini tidak ada lagi karena habis terbakar, hanya tersisa 16 fondasinya. Fondasi dalam bahasa Karo disebut palas, oleh sebab itu situs ini kini disebut "Palas Si Pitu Ruang."
Baca juga:Â Kisah "Palas Si Pitu Ruang" dan Asal Usul Nama "Deleng Sibuaten"
Masalah mulai terjadi ketika kaum kerabat Raja Sembahen diundang menghadiri acara pesta adat peresmian memasuki rumah baru itu. Pesta sudah berlangsung berhari-hari dan seperti tidak bisa diakhiri.
Kaum kerabat Raja Sembahen sudah tinggal berhari-hari lamanya di rumah yang baru diresmikan. Seorang pun tidak ada yang mau kembali pulang ke kampungnya, mereka lupa kepada ladang dan ternaknya.
Mereka seperti orang yang kebingungan di dalam rumah megah yang baru dibangun itu. Setelah keluar menuruni anak tangga dari pintu belakang, mereka kembali menaiki tangga masuk ke dalam rumah dari pintu depan, begitu seterusnya.
Semakin lama, persediaan beras pengulu Ajinembah dan warga desa pun hampir habis untuk kebutuhan makan. Pengulu Ajinembah sangat bersusah hati oleh karena hal itu. Tidak ada orang pintar di desa itu yang sanggup menghentikan pesta itu.
Perisitiwa itu diceritakan kepada appung Barus oleh gadis pemilik gubuk tempat appung Barus menumpang bersama istrinya. "Mudah saja menghentikannya," kata appung Barus mendengar cerita itu.
Hal itu pun disampaikan oleh si gadis kepada Pengulu Ajinembah. Setelah dirembugkan dengan kaum kerabatnya, mereka pun sepakat mengundang appung Barus datang ke desa untuk menghentikan pesta yang sudah menjadi masalah serius itu.
Mengingat kejadian di kampung Usang, ketika ia dan istrinya terusir setelah jati dirinya terungkap, appung Barus tidak bersedia datang memenuhi undangan pengulu Ajinembah. Namun, karena ia kembali dipanggil secara adat, appung Barus pun dengan berat hati datang ke Ajinembah.
Appung Barus membuat bahan kelengkapan untuk tepung tawar. Bahan-bahan itu dibaginya ke dalam dua mangkuk yang ditempatkan di kiri dan kanan pintu keluar di belakang "Rumah Si Pitu Ruang." Setiap kaum kerabat pengulu Ajinembah yang keluar dari pintu belakang ditotok keningnya oleh appung Barus dengan tepung tawar.
Setiap orang yang sudah ditotok keningnya tersadar, teringat kepada kampungnya, kepada ladang dan ternaknya. Mereka segera bergegas pulang, dengan cara itulah pesta yang sudah berlangsung berhari-hari itu bisa berakhir.
Untuk menghormati appung Barus, pengulu Ajinembah mengakuinya sebagai kalimbubu di hadapan kaum kerabatnya. Kalimbubu adalah pihak kerabat yang dalam adat Karo patut dihormati dan menjadi pihak pemberi dara, disebut juga sebagai tuhan yang terlihat dan dianggap menjadi saluran berkat dalam kehidupan.
Pengulu Ajinembah juga meminta appung Barus agar bersedia tinggal di desa Ajinembah. Mengingat kejadian ia dan istrinya terusir dari kampung Usang, appung Barus menolak permintaan itu. Menurutnya pada suatu saat nanti pengulu Ajinembah akan menyesali permintaannya itu.
Namun, pengulu Ajinembah tetap memaksa dan bersumpah bahwa tidak akan ada satu hal pun yang membuatnya menyesali permintaannya agar appung Barus bersedia tinggal di desanya. Maka tinggallah appung Barus dan istrinya di desa Ajinembah.
Beberapa waktu berlalu, apa yang dikhawatirkan appung Barus pun terjadilah. Kemarau berlangsung lama di desa itu, tanaman penduduk menjadi layu, ternak pun susah mendapatkan makanan.
Orang pintar berkata bahwa musibah ini terjadi karena di antara warga kampung ada yang melanggar aturan adat, menikahi pasangan yang sebenarnya ditabukan. Pasangan itu harus diusir dari kampung agar musibah yang menimpa desa itu berhenti.
Pengulu Ajinembah curiga kalau appung Baruslah yang melakukan pelanggaran adat itu. Namun, ia mengingat kembali sumpahnya bahwa tidak akan ada satu hal pun yang membuatnya menyesali permintaan agar appung Barus tinggal di desa itu.
Kemarahan warga desa tidak bisa dibendung lagi. Dengan berat hati pengulu Ajinembah menyuruh appung Barus dan istrinya meninggalkan Ajinembah. Mereka melanjutkan pengembaraannya.
Setelah berjalan beberapa hari, sampailah appung Barus dan istrinya di sebuah hamparan tanah yang rata, subur, dan dekat dengan sumber air. Appung Barus merasa bahwa itu adalah tempat yang cocok untuk ditinggali, ia pun membangun gubuk tempat tinggal.
Ia dan istrinya merasa senang tinggal di sana. Tidak ada seorang pun yang akan menolak dan mengusir mereka seperti yang terjadi di kampung Usang dan desa Ajinembah.
Mereka merasa sudah masuk hitungan (bilangen, bhs. Karo) dalam kehidupan ini. Oleh sebab itu tempat itu dinamakannya Bilagen (artinya sama dengan bilangen).
Appung Barus bermimpi pada suatu malam, ia mendengar suara yang mengatakan bahwa itu bukan tempat yang cocok untuk dia tinggali. Dia harus pindah ke tempat yang benar-benar cocok, baik, serasi, dan mendatangkan berkat sebagai tempat tinggalnya.
Tempat itu lebih ke hilir lagi (jahe, bhs. Karo) dari Bilagen. Istrinya pun bermimpi hal yang sama.
Appung Barus melanjutkan pencariannya hingga tiba di sebuah tempat yang dikenal sebagai desa Barusjahe sekarang ini. Tempat itu baik untuk ditinggali, hamparan tanahnya rata dan luas, cocok untuk bertani, dekat dengan sumber air, bagus untuk mempertahankan diri dari musuh, sebab hanya satu jalan masuk ke sana.
Ia segera menjemput istrinya ke Bilagen untuk pindah ke tempatnya yang baru itu. Di Bilagen ternyata sudah menunggu utusan pengulu Ajinembah dipimpin oleh adiknya sendiri. Ia membawa kabar bahwa pengulu Ajinembah sakit dan ingin meminta bantuan appung Barus untuk menyembuhkannya.
Karena pindah ke Barusjahe adalah hal yang mendesak, appung Barus segera meramu obat untuk menyembuhkan penyakit pengulu Ajinembah, tapi ia tidak bersedia ikut ke Ajinembah. Obat dan pesan appung Barus dibawa ke Ajinembah oleh utusan itu, tapi adik pengulu Ajinembah tetap tinggal di Bilagen membantu appung Barus pindah ke Barusjahe.
Singkat cerita, penyakit pengulu Ajinembah pun sembuh. Ia semakin hormat kepada appung Barus yang tetap dipandangnya sebagai kalimbubu.
Ia pun menyuruh utusan dari kaum kerabat dekatnya untuk menjumpai appung Barus ke Barusjahe. Utusan itu membawa pesan agar adik pengulu Ajinembah diterima menjadi anak beru (pihak penerima dara) yang akan membantu appung Barus membangun rumahnya dan agar diizinkan tinggal di sana membangun rumahnya sendiri, di Barusjahe.
Dengan begitu, keluarga Ginting Munte dari Ajinembah sebagai anak beru (penerima dara) tetap bisa setiap saat mendampingi appung Barus sebagai kalimbubu-nya (pemberi dara). Begitulah sikap hormat pengulu Ajinembah yang bermarga Ginting Munte kepada appung Barus.
Baca juga:Â Kapan dan Mengapa Sistem Pemerintahan Kerajaan Berakhir di Tanah Karo?
Itulah cikal bakal tumbuhnya kerajaan Barusjahe pada masa lalu, dan menjadi desa Barusjahe yang dikenal sekarang. Berdasarkan bahan-bahan dan keterangan yang diperoleh oleh penulis buku "Barus Mergana" yang merupakan raja terakhir kerajaan Barusjahe, bergelar Sibayak Mandur Barus, mulai dari appung Barus sampai dengan raja terakhir Barusjahe (kerajaan berakhir tahun 1946), ada setidaknya 12 tangga keturunan dalam garis silsilah keturunan raja-raja Kerajaan Barusjahe.
Dalam catatan itu, seorang anak dara dari raja ketiga Barusjahe, bernama Puang Br Barus menikah dengan Jagaroha, panglima kerajaan Dolok Silau. Jagaroha diperkirakan hidup pada masa yang sama dengan Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, Sultan Deli, lebih kurang tahun 1590.
Dengan asumsi itu, bila ditarik mundur dari masa hidup keturunan raja ketiga kerajaan Barusjahe ke appung Barus, ada 4 tingkatan umur yang bisa dipakai untuk memprediksi kapan kira-kira kerajaan Barusjahe didirikan oleh appung Barus.
Jika setiap tangga generasi diasumsikan berumur 40 tahun saja, 4 generasi ke atas dikali 40 tahun sama dengan 160 tahun. Maka tahun 1590, masa ketika putri raja ketiga Kerajan Barusjahe hidup, dikurangi 160 tahun, hasilnya adalah 1430. Menurut penulis buku yang juga raja terakhhir kerajaan Barusjahe itu, lebih kurang pada tahun 1430 itulah berdirinya kerajaan Barusjahe yang dibangun oleh appung Barus.
Rujukan:
S. M. Barus, "Barus Mergana", Medan: Percetakan Monora, 1977.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H