Kemarahan warga desa tidak bisa dibendung lagi. Dengan berat hati pengulu Ajinembah menyuruh appung Barus dan istrinya meninggalkan Ajinembah. Mereka melanjutkan pengembaraannya.
Setelah berjalan beberapa hari, sampailah appung Barus dan istrinya di sebuah hamparan tanah yang rata, subur, dan dekat dengan sumber air. Appung Barus merasa bahwa itu adalah tempat yang cocok untuk ditinggali, ia pun membangun gubuk tempat tinggal.
Ia dan istrinya merasa senang tinggal di sana. Tidak ada seorang pun yang akan menolak dan mengusir mereka seperti yang terjadi di kampung Usang dan desa Ajinembah.
Mereka merasa sudah masuk hitungan (bilangen, bhs. Karo) dalam kehidupan ini. Oleh sebab itu tempat itu dinamakannya Bilagen (artinya sama dengan bilangen).
Appung Barus bermimpi pada suatu malam, ia mendengar suara yang mengatakan bahwa itu bukan tempat yang cocok untuk dia tinggali. Dia harus pindah ke tempat yang benar-benar cocok, baik, serasi, dan mendatangkan berkat sebagai tempat tinggalnya.
Tempat itu lebih ke hilir lagi (jahe, bhs. Karo) dari Bilagen. Istrinya pun bermimpi hal yang sama.
Appung Barus melanjutkan pencariannya hingga tiba di sebuah tempat yang dikenal sebagai desa Barusjahe sekarang ini. Tempat itu baik untuk ditinggali, hamparan tanahnya rata dan luas, cocok untuk bertani, dekat dengan sumber air, bagus untuk mempertahankan diri dari musuh, sebab hanya satu jalan masuk ke sana.
Ia segera menjemput istrinya ke Bilagen untuk pindah ke tempatnya yang baru itu. Di Bilagen ternyata sudah menunggu utusan pengulu Ajinembah dipimpin oleh adiknya sendiri. Ia membawa kabar bahwa pengulu Ajinembah sakit dan ingin meminta bantuan appung Barus untuk menyembuhkannya.
Karena pindah ke Barusjahe adalah hal yang mendesak, appung Barus segera meramu obat untuk menyembuhkan penyakit pengulu Ajinembah, tapi ia tidak bersedia ikut ke Ajinembah. Obat dan pesan appung Barus dibawa ke Ajinembah oleh utusan itu, tapi adik pengulu Ajinembah tetap tinggal di Bilagen membantu appung Barus pindah ke Barusjahe.