"...Manusia tidak mengetahui apa pun yang dihadapinya... Lagi aku melihat di bawah matahari bahwa kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat, dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang kuat, juga roti bukan untuk yang berhikmat, kekayaan bukan untuk yang cerdas, dan karunia bukan untuk yang cerdik cendekia, karena waktu dan nasib dialami mereka semua."Â - (Pengkhotbah 9:1d; 9:11)
11 Juli 2021
Pada sebuah pagi yang dingin dan berkabut, saya menanam umbi ubi jalar yang kami sebut gadung joler sebanyak 8 buah, dan umbi kentang sebanyak 2 buah.Â
Umbi-umbian itu saya tanam pada sebuah bedeng tanah yang sudah dibersihkan dan digemburkan sedemikian rupa pada sore sehari sebelumnya.
"Umbi sudah ditanam, tinggal menunggu Tuhan menumbuhkannya." Begitu saya tuliskan sebagai keterangan di bawah foto bedengan tanah yang telah ditanami umbi, yang saya kirim melalui WAÂ grup keluarga pada hari itu.
Tulisan di WAÂ grup keluarga itu diilhami oleh kutipan dari surat rasul Paulus yang dituliskannya kepada jemaat di Korintus. "Paulus menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan."
Ada harapan-harapan dari beberapa anggota keluarga menjawab pesan WA yang saya kirimkan.
"Nanti kalau sudah panen, cukuplah kita masing-masing tersepiring. Dan semoga sisa 12 bakul buat kita semua, yang di Aberdeen, Tangerang, dan Kabanjahe," kataku.
Lahan tanaman itu hanyalah sebedeng gundukan tanah. Di sebelahnya ada juga ditanam 10 batang ubi kayu. Bapak yang menanamnya.
"Ubi kayunya itu bulang (kakek, bhs. Karo) yang tanam. Biar nanti kita mbelgang bulung gadung (merebus daun ubi, bhs. Karo), sedaaaap...,"Â kata bapak.
Ada sesuatu yang berbeda antara menanam tanaman yang berbuah di atas tanah dan yang buahnya (umbi) berada di dalam tanah.Â
Masuk dalam jenis tanaman ini adalah tanaman umbi-umbian seperti ubi kayu, ubi jalar, kentang, lobak, wortel, dan lain sejenisnya.
Bila tanaman yang berbuah di atas tanah, kita bisa melihat perkembangannya mulai dari bunga, berkembang menjadi buah, dan ranum hingga siap dipetik. Sementara itu, umbi yang berkembang  di dalam tanah jelas sama sekali tidak bisa diamati, hanya bisa dinanti dengan penuh kesabaran.
Konteks nats dalam kitab Pengkhotbah di awal tulisan ini hendak memberikan penjelasan tentang pandangan bahwa nasib semua orang sama. Pada ayat 2 dan ayat 3 dalam pasal yang sama dituliskan sebagai berikut:
"Segala sesuatu sama bagi sekalian; nasib orang sama: baik orang yang benar maupun orang yang fasik, orang yang baik maupun orang yang jahat, orang yang tahir maupun orang yang najis, orang yang mempersembahkan korban maupun yang tidak mempersembahkan korban. Sebagaimana orang yang baik, begitu pula orang yang berdosa; sebagaimana orang yang bersumpah, begitu pula orang yang takut untuk bersumpah. Inilah yang celaka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari; nasib semua orang sama."
Mencoba memahami misteri terkait nasib, di sanalah letak pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman menanam hingga memanen ubi jalar yang menjadi judul tulisan ini.Â
Tanam, selebihnya biarkan hujan yang menyirami, bumi yang merawat, mentari yang menumbuhkan, dan cuaca yang mencandai.
Dalam kehidupan sehari-hari orang Karo, ada ungkapan yang menyatakan "Dekahen nuanken asangken mperanisa." Bila diterjemahkan, maknanya bahwa lebih lama waktu dibutuhkan untuk menumbuhkan pikiran menjadi komitmen dan komitmen menjadi tindakan, dari pada waktu yang dibutuhkan menanti panen sejak benih disemaikan.
13 Maret 2022
Hampir setahun, tepatnya tujuh bulan dua hari, sejak 8 umbi ubi jalar dan 2 umbi kentang itu saya tanam.Â
Hari ini kami akan memanen ubi jalar yang sudah tumbuh merambat ke mana-mana meskipun awalnya ditanam pada sebedeng gundukan tanah.
Sementara itu, ubi kayu yang ditanam bapak mati semua. Ia kalah bersaing dengan gulma dan semak-semak yang tumbuh lebih subur dan berkembang lebih cepat.
Jadi benarlah seperti pesan rasul Paulus. Karena itu yang penting bukanlah yang menanam atau yang menyiram, melainkan Allah yang memberi pertumbuhan. Baik yang menanam maupun yang menyiram adalah sama, dan masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri.
Karena sudah terlambat dipanen, banyak di antara umbi-umbian ini yang paling besar sudah lebih dahulu dilahap hewan pengerat.Â
Namun, umbi yang dulunya hanya 10 biji sudah menjadi satu ember penuh ketika dipanen, itu pun belum semua.
Namanya pun ubi jalar, daunnya merambat entah ke mana-mana. Dari satu bedengan kecil itu saja, daunnya bisa sampai menjadi dua gerobak dorong.Â
Dulu, pada saat masih kecil saya mengingat bahwa daun ubi jalar ini diolah menjadi makanan ternak.
Ubi jalar yang berwarna ungu ini bisa diolah menjadi kolak, dicampur bersama pisang. Atau bisa juga sekadar dikukus.
Beberapa dari tangkai daunnya itu kami tanam kembali. Dengan harapan semoga hasilnya akan lebih banyak lagi untuk dibagikan kepada siapa yang mau nanti.
Umbi-umbi yang kami korek dari dalam tanah lalu dicuci oleh anak-anak. Sudah tidak mengherankan lagi kalau pada masa kiwari anak-anak, terutama yang tinggal di kota-kota besar, mungkin tidak tahu dari mana umbi ubi jalar diambil.
Setelah selesai dicuci tinggal perlu dikukus. Lumayan buat menemani hari yang dingin ketika hujan turun dengan lebatnya. Langit mendung, sepertinya memang akan turun lagi hujan lebat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H