"Ubi kayunya itu bulang (kakek, bhs. Karo) yang tanam. Biar nanti kita mbelgang bulung gadung (merebus daun ubi, bhs. Karo), sedaaaap...,"Â kata bapak.
Ada sesuatu yang berbeda antara menanam tanaman yang berbuah di atas tanah dan yang buahnya (umbi) berada di dalam tanah.Â
Masuk dalam jenis tanaman ini adalah tanaman umbi-umbian seperti ubi kayu, ubi jalar, kentang, lobak, wortel, dan lain sejenisnya.
Bila tanaman yang berbuah di atas tanah, kita bisa melihat perkembangannya mulai dari bunga, berkembang menjadi buah, dan ranum hingga siap dipetik. Sementara itu, umbi yang berkembang  di dalam tanah jelas sama sekali tidak bisa diamati, hanya bisa dinanti dengan penuh kesabaran.
Konteks nats dalam kitab Pengkhotbah di awal tulisan ini hendak memberikan penjelasan tentang pandangan bahwa nasib semua orang sama. Pada ayat 2 dan ayat 3 dalam pasal yang sama dituliskan sebagai berikut:
"Segala sesuatu sama bagi sekalian; nasib orang sama: baik orang yang benar maupun orang yang fasik, orang yang baik maupun orang yang jahat, orang yang tahir maupun orang yang najis, orang yang mempersembahkan korban maupun yang tidak mempersembahkan korban. Sebagaimana orang yang baik, begitu pula orang yang berdosa; sebagaimana orang yang bersumpah, begitu pula orang yang takut untuk bersumpah. Inilah yang celaka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari; nasib semua orang sama."
Mencoba memahami misteri terkait nasib, di sanalah letak pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman menanam hingga memanen ubi jalar yang menjadi judul tulisan ini.Â
Tanam, selebihnya biarkan hujan yang menyirami, bumi yang merawat, mentari yang menumbuhkan, dan cuaca yang mencandai.
Dalam kehidupan sehari-hari orang Karo, ada ungkapan yang menyatakan "Dekahen nuanken asangken mperanisa." Bila diterjemahkan, maknanya bahwa lebih lama waktu dibutuhkan untuk menumbuhkan pikiran menjadi komitmen dan komitmen menjadi tindakan, dari pada waktu yang dibutuhkan menanti panen sejak benih disemaikan.
13 Maret 2022