Tulisan ini memuat tentang rasa yang timbul dalam hati saat menikmati sungai, mulai dari Aek Sijorni di wilayah Tapanuli Selatan, Sumatera Utara hingga Batang Anai, di wilayah Sumatera Barat. Aek berarti air terjun dalam bahasa Toba, sementara batang berarti sungai dalam bahasa Minangkabau.
Menikmati sungai-sungai di sepanjang jalur lintas Barat Sumatera ini, marilah kita mulai dari gambaran sebuah adegan yang terjadi di Lembah Anai.
Air terjun lembah Anai terletak di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Air terjun setinggi lebih kurang 35 meter ini berada tepat di tepi jalan raya Padang -- Bukittinggi.
Air terjun ini merupakan bagian dari aliran sungai batang Lurah, anak sungai batang Anai yang berhulu di Gunung Singgalang pada ketinggian 400 mdpl. Letaknya yang berada di kawasan cagar alam, membuat suasana di lembah Anai masih sangat alami dan rimbun dengan pepohonan.
Lembah Anai
Lembah Anai disebut dalam beberapa bagian dalam kisah kasih tak sampai dari Zainuddin dan Hayati. Kisah itu sebagaimana dituliskan dalam roman "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" buah karya Hamka.
Syahdan, pada suatu malam Zainuddin merintih dan mengeluh dalam tidur tanpa mata terpejam di Silaing Padang Panjang. Itu adalah malam pertama setelah hari pernikahan Hayati, gadis pujaan hatinya di Batipuh, dengan lelaki lain pilihan keluarganya.
Sepeninggal kekasihnya yang telah menikah dengan lelaki lain itu, Zainuddin bagaimanapun tetap harus melanjutkan hidup. Jadilah dia menjalani hidup merana, dua bulan lamanya Zainuddin jatuh sakit.
Setelah sembuh dari sakit, Zainuddin suka sekali bersunyi-sunyi diri ke belukar Anai. Menekuri nasibnya yang tak henti dirundung malang ke tepi sungai yang mengalir dengan bunyinya yang dahsyat itu, seakan-akan berserunai bernafiri layaknya.
Zainuddin terkenang kemalangannya, menjadi yatim piatu sejak usia belia, tidak diakui asal-usulnya oleh kerabat sebangsa di tanah leluhurnya, Minangkabau, dan kini ditinggal kawin oleh kekasih pujaan hati.
Zainuddin hendak menghamburkan dirinya ke Batang Anai yang deras airnya itu, dia hendak bunuh diri. Untunglah si Muluk, sahabatnya, yang seorang parewa itu berhasil membujuknya dengan kata-kata bijak hingga ia mengurungkan niatnya bunuh diri.
Parewa adalah sebutan bagi golongan orang muda Minangkabau yang hidupnya berjudi, bermain dadu, menyabung ayam, dan lain sebagainya. Namun, mereka tidak mau mengganggu kehidupan kaum keluarga, pergaulan mereka juga sangat luas, penuh solidaritas, ahli bela diri, dan sangat kuat mempertahankan nama baik suku, kampung halaman, dan persahabatan.
Dalam pada itulah Zainuddin akhirnya tersadar dari ratapannya karena kasih tak sampai. Nasihat Muluk kepada sahabatnya itu, bahwa sebagai seorang budiman, Zainuddin harus bisa bangkit.
Sebagai seorang yang pandai mengarang, ketika ditimpa hal-hal yang penuh kemalangan seperti itulah terbuka pikiran dan mengalir banyak inspirasi untuk membuat karangan.
Kutipan dari Muluk ini hampir mirip dengan apa yang disampaikan seorang filsuf besar. "Bagaimanapun juga, menikahlah. Jika kamu mendapatkan istri yang baik kamu akan bahagia, dan jika mendapatkan yang buruk kamu akan menjadi seorang filsuf." -- Socrates.
Pelajaran pertama, jangan nilai seseorang atau sesuatu dari tampilan luarnya. Muluk mungkin seorang parewa dalam tampilan lahiriah, tapi pada batinnya dia adalah seorang guru yang telah banyak meminum air hidup karena sudah kenyang berguru kepada kehidupan.
Demi kesadaran dan semangatnya yang bangkit kembali, dan kebenaran dalam nasihat Muluk tentang rencana untuk menjadi pengarang, Zainuddin pun pindah dari kota Padang Panjang ke pulau Jawa. Zainuddin kemudian menjadi pengarang yang termasyhur.
Apa yang dijalinnya menjadi hikayat, menjadi syair, menjadi tonil, semua adalah penderitaannya sendiri, air matanya, bahkan terkadang darahnya. Tapi itu pulalah sebabnya, dia kelihatan menjadi orang yang beruntung di luarnya, tapi pada batinnya dia adalah seorang yang melarat.
Seperti seorang anak komidi, yang tertawa di muka umum, tetapi menangis di belakang layar. Pasalnya karena dia tetap saja kehilangan Hayati, cinta sejatinya yang tak lekang oleh waktu meskipun tidak pernah bisa dimilikinya.
Akhirnya cinta itu pun pupus sama sekali, bersamaan dengan tenggelamnya kapal Van Der Wijck pada 20 Oktober 1936. Dalam perjalanan membawa Hayati pulang dari Surabaya ke Sumatera bersama dengan ratusan orang lainnya yang terdiri dari seorang kapitan, 11 orang opsir, seorang markonis, seorang hofmeester, 5 klerk, 80 orang pegawai-pegawai Indonesia, kuli-kuli dan kelasi.
Sehari sebelumnya, Zainuddin sambil marah menyuruh Hayati yang telah menjadi janda sepeninggal suaminya yang mati bunuh diri untuk pulang kembali ke Padang. Padahal hati kecilnya sebenarnya ingin menahannya agar tidak pergi, dan selalu berada bersama dengannya.
Pelajaran kedua, jangan abaikan hati kecil dan kata hati. Pertahankan dan perjuangkan apa yang layak untuk dipertahankan dan diperjuangkan sebelum menyesal kemudian.
Aek Sijorni
Berbeda dengan rasa yang muncul dalam balutan sastra ketika menikmati air terjun di sekitar batang Anai, Sumatera Barat, berikut ini adalah rasa yang muncul dalam pengalaman indrawi saat sekilas menikmati Aek Sijorni, di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Aek Sijorni adalah tempat rekreasi alami yang dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun, utamanya pohon-pohon kelapa. Wahana utamanya adalah air terjun bertingkat dengan airnya yang jernih dan segar sesuai namanya, dan juga ada beberapa kolam renang dengan air jernih alami yang mengalir.
Lokasi objek wisata Aek Sijorni berada di simpang Tolang, Sayur Matinggi, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Masuk ke lokasi ini, kita akan melintasi sebuah jembatan gantung yang membentang di atas sungai batang Angkola yang mengalir sejajar dengan jalan lintas Barat Sumatera pada wilayah ini.
Salah satu ciri khas daerah ini memang keberadaan banyak sumber mata air, karena keberadaan gunung Sibualbuali yang masih aktif dan termasuk gugusan Taman Nasional Pegunungan Bukit Barisan.
Barangkali karena hanya sekadar melihat-lihat saja sambil melintas, saat itu kami hanya membayar Rp100.000 untuk tiga anak-anak dan empat orang dewasa saat masuk ke lokasi objek wisata ini. Terlihat anak-anak dan keluarga-keluarga yang berbahagia mandi-mandi di sana.
Begitulah, beda orang beda rasa dalam menikmati segala sesuatu. Begitu pun dengan menikmati sungai, dua sungai dengan balutan yang berbeda tentu saja akan melahirkan rasa yang berbeda.
Setiap orang bebas menikmati alam sesuai seleranya. Namun yang jelas, sungai, danau, laut, lembah, gunung, dan bentang alam yang lainnya sering kali dipakai sebagai sebuah latar dalam cerita kehidupan.
Seperti Zainuddin, di Lembah Anai ia biasa termenung, tapi dari sana juga sumber inspirasinya. Atau seperti keluarga-keluarga yang bersuka cita mandi-mandi di Aek Sijorni, sejenak melepaskan penatnya beban hidupnya.
Sungai-sungai akan senantiasa mengalir membawa cerita. Selamat memungut rasa.
Pojok Baca: Air Terjun Lembah Anai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H