Zainuddin terkenang kemalangannya, menjadi yatim piatu sejak usia belia, tidak diakui asal-usulnya oleh kerabat sebangsa di tanah leluhurnya, Minangkabau, dan kini ditinggal kawin oleh kekasih pujaan hati.
Zainuddin hendak menghamburkan dirinya ke Batang Anai yang deras airnya itu, dia hendak bunuh diri. Untunglah si Muluk, sahabatnya, yang seorang parewa itu berhasil membujuknya dengan kata-kata bijak hingga ia mengurungkan niatnya bunuh diri.
Parewa adalah sebutan bagi golongan orang muda Minangkabau yang hidupnya berjudi, bermain dadu, menyabung ayam, dan lain sebagainya. Namun, mereka tidak mau mengganggu kehidupan kaum keluarga, pergaulan mereka juga sangat luas, penuh solidaritas, ahli bela diri, dan sangat kuat mempertahankan nama baik suku, kampung halaman, dan persahabatan.
Dalam pada itulah Zainuddin akhirnya tersadar dari ratapannya karena kasih tak sampai. Nasihat Muluk kepada sahabatnya itu, bahwa sebagai seorang budiman, Zainuddin harus bisa bangkit.
Sebagai seorang yang pandai mengarang, ketika ditimpa hal-hal yang penuh kemalangan seperti itulah terbuka pikiran dan mengalir banyak inspirasi untuk membuat karangan.
Kutipan dari Muluk ini hampir mirip dengan apa yang disampaikan seorang filsuf besar. "Bagaimanapun juga, menikahlah. Jika kamu mendapatkan istri yang baik kamu akan bahagia, dan jika mendapatkan yang buruk kamu akan menjadi seorang filsuf." -- Socrates.
Pelajaran pertama, jangan nilai seseorang atau sesuatu dari tampilan luarnya. Muluk mungkin seorang parewa dalam tampilan lahiriah, tapi pada batinnya dia adalah seorang guru yang telah banyak meminum air hidup karena sudah kenyang berguru kepada kehidupan.
Demi kesadaran dan semangatnya yang bangkit kembali, dan kebenaran dalam nasihat Muluk tentang rencana untuk menjadi pengarang, Zainuddin pun pindah dari kota Padang Panjang ke pulau Jawa. Zainuddin kemudian menjadi pengarang yang termasyhur.
Apa yang dijalinnya menjadi hikayat, menjadi syair, menjadi tonil, semua adalah penderitaannya sendiri, air matanya, bahkan terkadang darahnya. Tapi itu pulalah sebabnya, dia kelihatan menjadi orang yang beruntung di luarnya, tapi pada batinnya dia adalah seorang yang melarat.
Seperti seorang anak komidi, yang tertawa di muka umum, tetapi menangis di belakang layar. Pasalnya karena dia tetap saja kehilangan Hayati, cinta sejatinya yang tak lekang oleh waktu meskipun tidak pernah bisa dimilikinya.
Akhirnya cinta itu pun pupus sama sekali, bersamaan dengan tenggelamnya kapal Van Der Wijck pada 20 Oktober 1936. Dalam perjalanan membawa Hayati pulang dari Surabaya ke Sumatera bersama dengan ratusan orang lainnya yang terdiri dari seorang kapitan, 11 orang opsir, seorang markonis, seorang hofmeester, 5 klerk, 80 orang pegawai-pegawai Indonesia, kuli-kuli dan kelasi.