Bukittinggi, 13 Februari 2022.
Tiba di pelataran Jam Gadang pukul 9.00 WIB. Orang-orang sudah ramai di sana walaupun hari masih lumayan pagi. Berfoto, mematut-matut Jam Gadang yang terkenal itu, sebagian lagi duduk berteduh di bawah pohon sambil menikmati kerupuk opak yang dilumuri sambal sate Padang.
Jam Gadang memang sudah sangat terkenal sebagai ikon kota Bukittinggi. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatianku tatkala menoleh ke seberang jalan dari pelataran Jam Gadang itu. Di sana adalah istana Bung Hatta, sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia.
Bung Hatta lahir di Fort de Kock (Bukittinggi) pada 12 Agustus 1902. Tentang Bung Hatta memiliki tempat tersendiri di hati orang Karo, khususnya bagi para pejuang kemerdekaan di front Tanah Karo pada masa lalu.
Kisah itu terkait strategi bumi hangus yang dilakukan pejuang dan rakyat Tanah Karo pada 26 November 1947. Seluruh rumah adat dan rumah-rumah pribadi di kampung Batukarang dibakar oleh orang-orang Karo, lalu diikuti oleh kampung-kampung lain sehingga rumah-rumah adat menjadi rata dengan tanah dan tidak bisa lagi digunakan oleh tentara Belanda.
Rumah adat adalah salah satu simbol kebesaran dan kebanggaan bagi orang Karo, tidak hanya bernilai tinggi dalam arti fisik, material, dan seni. Nilai tinggi itu tampak dalam semangat gotong-royong dan kolaborasi pembangunannya sesuai peran masing-masing orang dalam sistem adat Karo.
Pengorbanan itu sungguh tidak mudah dan tidak murah sehingga menarik perhatian Mohammad Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama. Ia telah menyaksikan langsung jiwa patriotik rakyat Tanah Karo dalam perjuangan yang gigih melawan tentara Belanda selama masa agresi militer Belanda yang pertama itu.
Beberapa hari menjelang tentara Belanda menduduki Kabanjahe dan Berastagi, Bung Hatta berada di Berastagi, Tanah Karo. Ia dapat diloloskan dari sergapan tentara Belanda dengan bantuan para pejuang di front Tanah Karo.
Ia diloloskan dari Tanah Karo ke daerah Tapanuli melalui Sidikalang, seterusnya menuju Bukit Tinggi. Itu adalah bagian ruas jalan lintas Barat Sumatera yang juga kami lalui untuk mencapai Bukittinggi dari Tanah Karo pada 13 Februari yang lalu.
Untuk menjemput kenangan itu, rasanya tidak ada salahnya apabila surat dari Bung Hatta untuk rakyat Tanah Karo yang dituliskannya pada tanggal 1 Januari 1948 itu kembali dimuat di sini. Isi surat itu hari ini masih terpatri pada prasasti sebuah monumen di Taman Mejuah-juah, Berastagi, Tanah Karo.
Bukit Tinggi, 1 Januari 1948
Kepada rakyat Tanah Karo yang kucintai,
MERDEKA!
Dari jauh kami memperhatikan perjuangan saudara-saudara yang begitu hebat untuk mempertahankan tanah tumpah darah kita yang suci dari serangan musuh. Kami sedih merasakan penderitaan saudara-saudara yang rumah habis dibakar, kampung halamannya jatuh ketangan musuh yang ganas, yang terus menyerang dan melebarkan daerah perampasannya, sekalipun ceace-fire sudah diperintahkan oleh Dewan Keamanan UNO. Tetapi sebaliknya kami merasa bangga dengan rakyat yang begitu sudi berkurban untuk mempertahankan cita-cita kemerdekaan kita.
Saya bangga dengan pemuda Karo yang berjuang membela tanah air sebagai putera Indonesia sejati.
Rumah yang terbakar boleh didirikan kembali, kampung yang hancur dapat dibangun lagi, tetapi kehormatan bangsa kalau hilang susah menimbulkannya. Dan sangat benar pendirian saudara-saudara, biar habis segala-galanya, asal kehormatan bangsa terpelihara dan cita-cita kemerdekaan tetap dibela sampai saat yang penghabisan. Demikian pulalah tekad rakyat Indonesia seluruhnya.
Rakyat yang begitu nekadnya tidak akan tenggelam, malahan pasti akan mencapai kemenangan cita-citanya.
Di atas kampung halaman saudara-saudara yang hangus, akan bersinar kemudian cahaya kemerdekaan Indonesia dan akan tumbuh kelak bibit kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Karo, sebagai bagian dari pada rakyat Indonesia yang satu yang tak dapat dibagi-bagi.
Kami sudahi pujian dan berterima kasih kami kepada saudara-saudara dengan semboyan kita yang jitu itu: "Sekali Merdeka tetap Merdeka".
Saudaramu,
Mohammad Hatta
Wakil Presiden Republik Indonesia
Tentu saja tidak hanya kenangan tentang Bung Hatta itu yang patut dimuat di sini terutama setelah menempuh perjalanan sejauh 600 kilometer selama 18 jam dari Tanah Karo hingga Bukittinggi. Mari kita ulik sekilas satu persatu sebagian tempat dan hal yang bisa dilihat dan dilakukan di sekitar Bukittinggi.
1. Istana dan Taman Monumen Proklamator Bung HattaÂ
Dekat dengan lokasi Jam Gadang, tinggal menyeberang jalan saja ada paviliun Istana Bung Hatta. Masih dalam kawasan paviliun pada bagian belakang ada taman monumen sang proklamator kemerdekaan dan wakil presiden pertama RI itu.
2. Jam Gadang
Jam Gadang yang berarti jam besar adalah ikon yang sudah sangat terkenal dari kota Bukittinggi. Apalagi kata "gadang" cukup mirip dengan kata "galang" yang juga berarti besar dalam bahasa Karo.
Taman Jam Gadang asri dan terawat. Setiap saat ada petugas yang berkeliling untuk menjaga ketertiban pengunjung termasuk untuk memastikan kepatuhan penerapan protokol kesehatan.
Di sekitar lokasi ini juga tersedia kios UMKM yang berjejer rapi di luar lokasi taman. Selain berfoto ria bersama keluarga dengan latar jam gadang yang legendaris, kita juga bisa membeli oleh-oleh di sini.
3. Pasar Bawah dan Pasar Atas
Masih di sekitar kawasan Jam Gadang, ada lokasi pasar tradisional. Ada yang disebut dengan Pasar Atas dan yang satu lagi Pasar Bawah.
Pasar Atas dekat dengan Jam Gadang. Sementara itu tinggal menuruni anak tangga dari lokasi Jam Gadang adalah Pasar Bawah.
Pasar Atas ramai dengan aneka jualan produk UMKM, seperti makanan, camilan, dan aneka souvenir yang bisa dijadikan oleh-oleh khas dari Bukittinggi. Sedangkan Pasar Bawah lebih banyak menjual aneka kebutuhan rumah tangga, semacam pasar tradisional bagi masyarakat setempat, bukan merupakan tempat berbelanja khusus bagi wisatawan.
Menurut pengamatan kami saat melihat-lihat para pembeli di Pasar Atas ini, harga makanan dan souvenir untuk oleh-oleh di sini lebih murah dua kali lipat dari pada oleh-oleh sejenis yang dijual di kota Padang. Namun, kemasan oleh-oleh yang dijual di pasar rakyat ini memang lebih bersahaja.
Hanya sejauh 650 meter dari lokasi Jam Gadang, ada objek wisata Lobang Jepang atau disebut juga Lubang Japang. Kita cukup berjalan kaki saja sekitar 5 menit untuk mencapainya.
Menurut pemandu wisata, awalnya sebelum direnovasi, sejauh 30 meter dari pintu masuk lobang, terowongan itu hanya seukuran diameter ban mobil. Masuk harus merayap karena terowongan itu berbentuk leher angsa, setelah 30 meter ke dalam baru agak lapang.
Lubang kecil serukuran ban mobil itu dulunya berfungsi sebagai lubang pengintaian oleh tentara Jepang ke arah kota Bukittinggi. Dengan ukurannya yang diperluas kini jadi pintu masuk ke dalam goa.
Sejauh 35 meter ke dalam ada 6 goa amunisi. Keenam terowongan ini saling terhuhung.
Lubang Jepang ini digali dengan cangkul, pahat, dan linggis oleh warga pribumi yang dijadikan romusha oleh Jepang. Ada ribuan romusha yang mati, dikuburkan massal di dalam goa dan ada juga yang dibuang melalui lubang yang tembus dari goa ke jurang dan sungai-sungai di lembah ngarai Sianok.
Oleh sebab itu ada juga terowongan yang difungsikan oleh Jepang di dalam goa ini sebagai pintu pelarian. Ujung terowongan itu tembus ke ngarai Sianok.
Seolah satu bukit ini telah dijadikan menjadi bunker pertahanan yang sulit ditembus oleh Jepang pada masa penjajahan itu. Lorong-lorong terowongan Lubang Jepang berada 40 meter di bawah tanah dan sekitar 40 meter di atas dasar jurang ngarai Sianok.
Menurut penjelasan pemandu tour ini, sisa-sisa senjata yang ditemukan di dalam lubang Jepang ini sudah disimpan di museum. Sepanjang lorong goa terlihat lekuk-lekuk yang menjorok ke dalam dengan jarak teratur antar lekuk pada dinding goa, katanya itu dimaksudkan agar suara tidak bergema di dalam goa.
Jembatan Limpapeh yang ikonik menghubungkan kebun binatang Bukittinggi dan benteng Fort de Kock yang sama-sama terletak di atas bukit Jirek.
Jembatan Limpapeh menghubungkan kawasan benteng Fort de Kock di bukit sebelah kiri dan kawasan kebun binatang Bukittinggi di bukit sebelah kanan pintu masuk. Harga tiket masuk ke kebun binatang Rp20.000 per orang, sama dengan harga tiket masuk ke benteng. Cukup membayar di salah satu pintu masuk saja kita sudah bisa masuk ke objek yang satunya lagi, sebab keduanya terhubung oleh jembatan ini.
Fort de Kock adalah benteng peninggalan Belanda, didirikan oleh Kapten Bouer pada tahun 1825 pada masa Hendrik Merkus de Kock menjadi komandan Der Troepen dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Oleh sebab itu benteng ini terkenal dengan nama Benteng Fort De Kock.
Kota Bukittinggi juga dulu pada masa kolonialisme Belanda bernama Fort De Kock. Oleh sebab itu tempat kelahiran Bung Hatta tertulis Fort De Kock, karena ia lahir pada masa kolonialisme Belanda.
Bila terasa capai berjalan kaki, kita juga bisa menyewa bendi yang banyak mangkal di sekitar lokasi Jam Gadang untuk berkeliling. Sewanya berkisar Rp80.000-Rp100.000 untuk sekali perjalanan tergantung rute yang diinginkan.
Oh ya, satu lagi sebagai penutup. Benteng Fort de Kock ini adalah satu dari 2 benteng Belanda yang ada di Sumatera Barat. Benteng yang satu lagi terletak di Batusangkar, bernama benteng Fort Van der Capellen.
Menariknya, alasan Belanda membangun benteng di Bukittinggi dan Batusangkar karena kedua kota ini adalah yang paling sulit untuk ditaklukan oleh Belanda pada masa Perang Paderi. Jadi sudah lebih jelas sekarang, mengapa jiwa Bung Hatta dan para pejuang Tanah Karo sama-sama bergelora ketika mendengar pekik "Merdeka!" saat tanahnya terjajah. Mereka sama-sama tidak mudah menyerah.
Salam perjuangan, Bung! Mejuah-juah.
Rujukan: Benteng Fort de Kock
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H