Sebagaimana fungsi pepohonan pada umumnya, keberadaan akar pohon sangat penting sebagai sumber mata air. Tidak terlalu jauh dari lokasi pohon ini ada lokasi tempat pemandian atau kamar mandi umum bagi desa, disebutlah namanya "tapin Lingga".Â
Di kamar mandi umum ini ada 3 pancuran bagi laki-laki dan 6 pancuran bagi perempuan.
Jumlah pancuran yang lebih banyak bagi kaum perempuan ini berkaitan dengan penggunaan air yang lebih banyak oleh perempuan, selain untuk membersihkan badan juga untuk keperluan memasak, mencuci piring, dan pakaian.
Air yang mengaliri pancuran di kamar mandi umum ini berasal dari mata air yang bersumber langsung dari akar pohon-pohon di hutan desa yang bernama "Kerangen Sangka Ndareh" atau hutan Sangka Ndareh.Â
Air adalah sumber kehidupan, oleh sebab itu hutan yang menjadi sumber mata air bagi kamar mandi umum desa itu sangat dijaga kelestariannya.Â
Kesadaran ini berkaitan dengan maksud penamaan hutan sumber mata air itu dalam kaitannya dengan darah.Â
Kerangen Sangka Ndareh maksudnya adalah bahwa masyarakat atau siapa saja yang datang ke desa tidak boleh sembarangan di hutan desa, kalau tidak mau darahnya tertumpah. Sebegitu kuatnya konsekuensi yang dipandang bisa timbul bila hutan sampai rusak.Â
Apabila hutan dirusak, maka akan terjadi kesulitan air, jika sulit mendapatkan air maka hidup pun terancam. Bukankan pertumpahan darah adalah salah satu gambaran hidup yang terancam?
Selain fungsi pohon untuk mendukung kehidupan lahiriah sebagaimana di atas, ada juga makna spiritual dalam eksistensi pohon dan jenis-jenisnya bagi suku Karo. Setidaknya ada 3 makna dasar falsafah hidup suku Karo dalam 3 jenis pohon kayu yang harus ada saat akan membangun rumah adat Karo.
Ketiga jenis kayu yang harus ada dalam bahan-bahan membuat rumah adat Karo itu terdiri dari kayu ambar tuah, kayu nderasi, dan kayu siber naik. Berikut ini adalah makna ketiganya.