Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Cerita tentang Penyertaan Tuhan dalam Segelas Jahe Madu

9 Januari 2022   10:45 Diperbarui: 9 Januari 2022   10:47 1574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lahan pertanian warga kawasan relokasi Siosar (Dok. Pribadi)

"Selalu ada cerita dalam segelas kopi atau segelas jahe madu," katanya.

Selasa, 4 Januari 2022 yang lalu, saya bersama seorang rekan menikmati suana istirahat siang pada awal hari kerja tahun baru di sebuah cafe sekitar kawasan Siosar, Tanah Karo, Sumatera Utara.

Sebuah cafe yang mungil nan asri berada di antara hamparan lokasi perladangan berlatar gunung gemunung di tepi jalan menuju Siosar. Namanya cafe Surya.

Karena bukan hari libur, suasana cafe tidak terlalu ramai. Hanya terlihat satu dua keluarga yang masih menikmati panorama dan udara segar alam pegunungan dalam suasana tahun baru, duduk berkumpul di pojok dan beranda cafe ini.

Panorama alam pegunungan tampak dari cafe Surya, Siosar (Dok. Pribadi)
Panorama alam pegunungan tampak dari cafe Surya, Siosar (Dok. Pribadi)


Kami disambut oleh seorang ibu yang duduk di meja kasir. Sambutan penuh keramahtamahan ini jelas membuat kami langsung merasa nyaman meskipun baru pertama kali berkunjung ke sini.

Ternyata ibu ini adalah istri sang pemilik cafe yang bermarga Sembiring Pelawi.
Kami memesan beberapa menu sajian di cafe ini, dari minuman jahe madu, seporsi kentang goreng, dan sepiring chicken nugget.

Menanti sajian terhidang, kami pun mengobrol dengan ibu ini dan pak Pelawi, suaminya. Saya dan teman saya cukup terkesan dengan pengalaman pak Pelawi bersama istrinya mulai dari merintis cafe ini sejak awal tahun 2020 hingga semakin dikenal saat ini.

Ngobrol dengan pak Pelawi sambil menikmati segelas jahe madu di cafe Surya, Siosar (Dok. Pribadi)
Ngobrol dengan pak Pelawi sambil menikmati segelas jahe madu di cafe Surya, Siosar (Dok. Pribadi)

Mereka adalah satu di antara ribuan jiwa lainnya dari berbagai desa yang mengungsi akibat erupsi Gunung Sinabung pada 2010 dan 2013 silam.
Pak Pelawi sendiri dan istrinya berasal dari Desa Simacem, Kecamatan Naman Teran.

Mereka sudah bermukim di kawasan relokasi Siosar sejak sekitar tahun 2014 yang lalu. Setiap keluarga yang dipindahkan ke desa ini mendapatkan rumah hunian ukuran 6x6 m dan lahan pertanian seluas 5.000 m2.

Lahan pertanian warga kawasan relokasi Siosar (Dok. Pribadi)
Lahan pertanian warga kawasan relokasi Siosar (Dok. Pribadi)

Namun, dalam perjalanannya pak Pelawi dan istrinya memutuskan membuka usaha cafe di tengah ladang mereka di Siosar.
Dulu saat masih tinggal di desa asalnya, di Simacem, mereka juga memang mengelola usaha kedai kopi.

Tak lama kemudian dua gelas jahe madu pun diantarkan pramusaji ke meja kami. Maka obrolan pun semakin hangat.

Demikianlah pak Pelawi menyapa setiap tamu yang datang makan, minum, dan nongkrong di cafe yang berada di tengah alam ini. "Selalu ada cerita dalam segelas kopi atau segelas jahe madu," katanya.

Nun di kejauhan, dia menunjukkan lokasi desa Simacem di bawah kaki Gunung Sinabung yang memang tampak jelas dari cafe ini.

Gunung Sinabung dengan puncak yang tertutup kabut. Tampak timbunan material vulkanik di kaki gunung (Dok. Pribadi)
Gunung Sinabung dengan puncak yang tertutup kabut. Tampak timbunan material vulkanik di kaki gunung (Dok. Pribadi)


Desa itu kini telah tertimbun bersama dua desa lainnya, Bekerah dan Sukameriah, oleh material vulkanik muntahan Sinabung. Beberapa bagian di atas timbunan material vulkanik itu kini tampak sudah mulai menghijau oleh tumbuh-tumbuhan setelah jeda erupsi yang sudah berlangsung cukup lama belakangan ini.

Kemudian datang lagi pesanan kentang goreng dan chicken nugget. Ditambah saos cabe tomat plus sambal yang tampak khas dan bukan buatan pabrik.

Gorengan kentang merah hasil budi daya warga desa kawasan relokasi Siosar (Dok. Pribadi)
Gorengan kentang merah hasil budi daya warga desa kawasan relokasi Siosar (Dok. Pribadi)

Sajian dengan sambal andaliman di cafe Surya, Siosar (Dok. Pribadi)
Sajian dengan sambal andaliman di cafe Surya, Siosar (Dok. Pribadi)

Ubi roti hasil budi daya warga desa dengan olahan khas cafe Surya, Siosar (Dok. Pribadi)
Ubi roti hasil budi daya warga desa dengan olahan khas cafe Surya, Siosar (Dok. Pribadi)

Ya, ternyata itu adalah sambal andaliman. Dibuat dari bahan bumbu-bumbuan yang khas ada dalam masakan tradisi Karo, seperti daun sere, tuba, kencong atau kecombrang yang ditumbuk halus bersama cabe dan garam secukupnya.

Kecuali chicken nugget yang bahannya dibeli dari pasar, kentang goreng, ubi goreng, buah-buahan dan sayuran, semuanya mereka beli langsung dari kebun warga petani kawasan relokasi Siosar.

Seperti kentang goreng yang dibuat dari bahan kentang merah. Itu adalah hasil pertanian warga desa sendiri.

Meskipun tidak membeli dalam jumlah besar sekaligus, kesinambungan permintaan bahan baku hasil bumi dari cafe ini membuat warga relokasi memiliki alternatif lahan pemasaran bagi hasil pertaniannya.

Jadi, masyarakat petani di sana sudah terbiasa menanam kentang merah, ubi kayu, nenas, dlsb secara kontinyu untuk mensuplai kebutuhan cafe ini.

Cafe Surya digagas oleh pak Pelawi sebagai ladang wisata. Sebuah bentuk pertanian yang tak akan habis tapi berkelanjutan.

Cafe Surya, Siosar (Dok. Pribadi)
Cafe Surya, Siosar (Dok. Pribadi)

Usaha itu untuk mendukung ekonomi rumah tangga dan pendidikan anak-anaknya yang juga berprestasi, lulusan perguruan tinggi negeri favorit di negeri ini.

Pada Maret 2020 yang lalu, imbas dari pandemi turut memberikan kelesuan bagi operasional cafe ini. Namun, mulai aktif kembali pada bulan Oktober 2020 dengan berbagai penyesuaian terkait penerapan protokol kesehatan.

Kehadiran cafe ini juga turut membuka lapangan kerja baru bagi para pemuda Siosar. Ada 7 karyawannya, yang kesemuanya merupakan warga Siosar.

Berbagai menu dipasarkan dengan harga yang standar. Mulai dari kisaran harga Rp25.000 hingga Rp35.000.

Seperti gulai ikan mas arsik, ikan asam manis, dengan olahan dan bumbu khas Karo yang dijamin halal, mereka tetap memasarkannya dengan harga yang terjangkau.

Kenangan pilu pada masa yang lalu mungkin tidak sepenuhnya ikut tertimbun bersama desa asal yang sudah musnah ditutup abu dan batu Sinabung.

Harapan baru yang tumbuh dalam penyerahan akan pemeliharaan Tuhan membuat mereka bersuka cita menjalani hidup di sebuah pusat pertumbuhan baru bernama Siosar.

Istri pak Pelawi terkenang situasi panik saat pertama kali menyaksikan sendiri erupsi yang tak pernah ada di koleksi memori warga yang masih hidup hingga masa itu.

"Hilang lenyap semua harta benda yang ada. Tidak ada lagi yang bisa kami bawa pergi pada saat itu, selain beberapa stel pakaian yang aku comot sekenanya dari dalam lemari," katanya.

"Masa-masa awal kami mengolah lahan di kawasan relokasi ini juga tidak mudah," katanya. Namun, semua kami jalani dengan bersandar sepenuhnya kepada pemeliharaan Tuhan," lanjutnya.

Kini mereka menatap masa depan dengan lebih optimis. Bersama warga lainnya di kawasan relokasi Siosar.

Demikianlah pemeliharaan Tuhan yang sering kali tak terselami dan bekerja dengan cara yang melampaui segala akal. Tapi menjadi indah pada waktu yang tepat.

Pengalaman spiritual mereka memberikan kekuatan menjalani hari-hari di awal tahun yang baru. Itulah cerita dalam segelas jahe madu di sini, di Siosar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun