Sebuah bangunan tua dari kayu dengan cat didominasi warna kuning dan hijau bergaya khas Melayu, terhimpit di antara bangunan kios sayur dan buah-buahan. Bangunan ini terletak di jalan Masjid No. 12 Kabanjahe, Tanah Karo.
Bangunan ini adalah sebuah masjid. Tidak hanya itu, ini bahkan adalah masjid tertua di Tanah Karo.
Dari tulisan di gerbang masjid didapat informasi bahwa masjid ini mulai dibangun pada tahun 1902 dan selesai pada tahun 1904.
Ada perasaan malu terselip di dada. Sudah puluhan tahun saya bermukim di kota ini, tapi baru pada tahun 2020 yang lalu saya mengetahui kalau ini adalah bangunan masjid tertua di kota Kabanjahe bahkan di Tanah Karo.
Peristiwanya bermula ketika seorang rekan jurnalis senior dari sebuah media nasional yang tinggal di Bandung berkunjung ke kota kami ini pada Desember 2020 yang lalu. Dia berencana membuat liputan tentang masjid tertua di Tanah Karo ini.
Namun, niat itu tidak kesampaian karena padatnya jadwal beliau selama dua hari sebagai narasumber dalam sebuah kegiatan bagi para jurnalis Tanah Karo.
Butuh waktu setahun kemudian bagi saya sejak saat itu untuk bisa datang berkunjung ke masjid bersejarah ini. Mungkin bukan saya sendiri warga kota ini yang luput dari mengetahui sejarah masjid tertua di kota ini.
Suatu sore pada Selasa, 4/1/2022, saya berkesempatan mengobrol dengan nazir masjid yang sudah 34 tahun merawat masjid ini.
Beliau adalah Muhammad Siddik Surbakti. Dia menuturkan bahwa ada 8 orang nazir masjid sebelum dirinya, terhitung sejak wafatnya ayah beliau yang juga merupakan nazir masjid, pada tahun 1969 yang lalu.
Sejarah Masjid Lama Kabanjahe
Menurut Pak Siddik, tidak diketahui pasti persisnya peristiwa sejarah terkait awal berdirinya masjid ini, proses, serta latar belakang penamaannya.
Menurut penjelasannya, tokoh yang berperan penting dalam syiar agama Islam di Tanah Karo, khususnya di kota Kabanjahe, adalah seorang ulama bernama Haji Sulaiman Tarigan.
Beliau berasal dari Tiga Beringin yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo. Tuan Guru Haji Sulaiman Tarigan pernah menimba ilmu keislaman di Kedatukan Sunggal.
Sudah sejak lama kota Kabanjahe menjadi salah satu kota tujuan yang banyak dikunjungi pedagang dari Aceh. Utamanya dari Kotacane dan Blangkejeren.
Pusat perdagangan atau pasar terbesar di kota Kabanjahe dinamakan Pajak Lama. Lokasi pusat pasar Kabanjahe itu memang dekat dengan lokasi Masjid Lama ini.
Barangkali nama Masjid Lama berkaitan erat dengan lokasinya yang berdekatan dengan Pajak Lama. Kata "lama" sendiri biasa digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang sudah tua umurnya.
Pendirian masjid ini tidak terlepas dari dorongan permintaan para pedagang dari Aceh yang membutuhkan adanya masjid untuk mereka bisa melaksanakan shalat lima waktu.
Merespons hal itu, ulama dan para tokoh Islam di Tanah Karo pada masa itu meminta restu dari Sibayak Lingga untuk mereka bisa mendirikan sebuah masjid di kota Kabanjahe. Sibayak Lingga, bisa dikatakan merupakan raja (penguasa lokal) pada waktu itu, walaupun itu adalah masa-masa penjajahan Belanda.
Beliau memberikan persetujuannya atas niat untuk mendirikan sebuah masjid di kota Kabanjahe dan menyarankan agar mereka berkomunikasi dengan pemilik lahan yang dirasa cocok menjadi lokasi masjid.
Terbangunlah komunikasi dengan pihak keluarga bermarga Sembiring Brahmana yang merupakan pemilik tanah yang menjadi lokasi berdirinya masjid sekarang.
Dulunya, lokasi sekitar masjid ini, yang kini menjadi kawasan pasar buah dan sayuran, merupakan kawasan hutan. Jadi, pembangunan masjid pada masa itu menggunakan papan yang diolah dari kayu-kayu hutan di sekitar lokasi masjid.
Pembangunan Masjid Lama Kabanjahe ini juga didukung oleh Tuanku Abdul Aziz, Sultan Langkat pada masa itu, dengan menyumbangkan uang sebesar Rp250. Jumlah yang mungkin sangat besar pada masa itu.
Hal ini menjelaskan mengapa bangunan masjid ini bercorak Melayu. Mulai dari atapnya yang berbentuk limas dan berundak, bukan berbentuk kubah sebagaimana umumnya bangunan masjid yang dibangun pada masa sekarang.
Motif resplang bangunan masjid juga bercorak teras-teras rumah Melayu. Obrolan kami bersama Muhammad Siddik Surbakti sebagai nazir masjid berlangsung santai dan hangat di teras masjid yang berlanggam Melayu ini.
Sebagai sesama putra Karo, saat ngobrol di teras Masjid berlanggam Melayu ini, kami mensyukuri salah satu rahmat Tuhan bagi Tanah Karo. Bahwa kerukunan umat beragama tetap terjaga di Tanah Karo hingga hari ini.
Tetaplah kiranya kerukunan itu terjaga dan lestari selama hayat dikandung badan. Biarlah kemarin luput dari perhatian, tapi janganlah sampai salah satu saksi sejarah kerukunan umat beragama di Nusantara ini menjadi terlupakan.
Saya pamit ke Pak Siddik, sambil kami saling berbalas mengucapkan, Mejuah-juah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H