Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memaknai Advent dalam Bingkai Bentang Alam pada Gereja Gunung Siosar

1 Desember 2021   00:16 Diperbarui: 1 Desember 2021   18:00 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Terima kasih, karena kita bisa berkumpul hari ini, walaupun kami hanya berani bermimpi. Tuhan menggerakkan orang-orang untuk menunjukkan kasihNya kepada kami, di antaranya melalui pembangunan gereja di Siosar."

Kutipan di atas diucapkan oleh salah seorang pelayan jemaat gereja Bekerah Simacem, Siosar, dalam rapat panitia pembangunan gereja Bekerah Simacem, pada Sabtu, 23 Januari 2021 yang lalu. Kejadiannya sekitar 10 bulan yang lalu.

Bekerah dan Simacem adalah dua desa yang terdampak erupsi Gunung Sinabung pada 2010 yang lalu. Ini adalah erupsi yang pertama sejak letusan Sinabung yang terakhir kali pada tahun 1600 lampau menurut beberapa catatan. Kejadiannya sekitar 410 tahun berselang.

Masa 10 bulan atau 410 tahun, atau hanya sehari, adalah rentang waktu yang menyatakan ukuran suatu masa penantian. Masa penantian disebut juga masa advent dalam kalender gerejawi.

Advent dalam gereja Kristen, baik Katolik maupun Protestan adalah sebuah periode sebelum Natal. Advent berasal dari kata adventus dalam bahasa Latin, yang berarti kedatangan.

Selain masa menyiapkan diri untuk menyambut datangnya Natal, advent juga bisa diartikan masa penantian kedatangan Yesus yang kedua kalinya pada akhir zaman. Biasanya manusia senang menantikan hadirnya apa yang diharapkan, adakah yang menantikan bencana hadir dalam hidupnya?

Sekilas Desa Bekerah Simacem, Dulu dan Kini

Desa Bekerah dan Simacem merupakan dua di antara beberapa desa yang paling terdampak erupsi Gunung Sinabung. Desa itu kini sudah tertimbun oleh material vulkanik Gunung Sinabung dan tidak layak lagi untuk ditinggali.

Lebih kurang 5 tahun terakhir, warga kedua desa ini bersama warga desa Sukameriah telah tinggal menetap di sebuah kawasan relokasi yang disiapkan oleh pemerintah bernama Siosar. Warga di kawasan relokasi mendapatkan fasilitas rumah hunian, lahan pertanian, fasilitas umum, dan fasilitas sosial, salah satunya adalah gedung gereja.

Ada sebuah bangunan gereja oikumene bernama "Bahtera Kasih Siosar" yang digunakan secara bersama-sama oleh beberapa denominasi gereja. Kesulitan dalam pengaturan jadwal ibadah membuat ibadah tidak bisa selalu berjalan baik, sehingga jemaat terkadang tidak bisa khusyuk beribadah.

Pada tahun 2018 jemaat Bekerah Simacem juga bergotong-royong membangun gereja sementara yang mereka namakan sebagai "Gereja Kayu". Material bangunan memang sebagian besar dari kayu, dengan atap seng dan beralas tanah.

Ibadah di Gereja Kayu Siosar, 19/8/2018 (Dokumentasi Pribadi)
Ibadah di Gereja Kayu Siosar, 19/8/2018 (Dokumentasi Pribadi)

Hidup kurang lebih selama lima tahun di kawasan relokasi Siosar, membawa kenormalan baru bagi jemaat gereja khususnya dan masyarakat secara umum. Mereka yang bukan lagi pengungsi mulai menatap masa depan sambil melupakan masa lalu yang pahit sebagai pengungsi.

Ada sebuah gambaran sederhana tentang kehidupan warga desa ini yang diungkapkan oleh seorang warga desa yang juga pelayan jemaat gereja bermarga Pelawi. Katanya begini:

"Ada 5.000 meter persegi lahan olahan untuk kami bisa bertani, disediakan rumah permanen berukuran 5x5m dengan lahan rumah seluas 5x10m. Anak-anak kami kini sudah ada yang kawin-mawin. "

Rumah kecil nan bersahaja itu kini harus dibagi dua, karena sudah ada dua kepala keluarga di dalamnya. Lalu, lahan pertanian akan harus dibagi entah menjadi berapa untuk kami usahai bersama keluarga baru anak-anak kami yang datang kemudian.

Bagaimana kondisi ini akan mampu mendukung kesinambungan kehidupan masyarakat, keluarga-keluarga di kawasan relokasi Siosar dalam jangka panjang?

Spiritualitas berdimensi Ekologi, dari Gereja Kayu ke Gereja Gunung, Mimpi atau Visi?

"Kita perlu belajar setia dalam masalah. Orang yang meyakini dirinya setia akan memperoleh damai sejahtera, sebab hati dan pikirannya bersatu dengan jiwa raganya. Jiwa yang teguh memampukan kita menghadapi masalah-masalah dalam kesetiaan."

Kutipan ini disadur dari khotbah pendeta Krismas Imanta Barus yang memimpin ibadah peletakan batu pertama dan penggalangan dana pembangunan gedung gereja Bekerah Simacem di Siosar pada Minggu, 28 November 2021 yang lalu. Tidak saja menarik dalam dimensi spiritualitas terkait histori jemaat kedua desa yang eksodus akibat bencana hingga tinggal menetap di Siosar ini.

Peletakan batu pertama pembangunan Gereja Gunung, Siosar pada 28/11/2021 (Dokumentasi Pribadi)
Peletakan batu pertama pembangunan Gereja Gunung, Siosar pada 28/11/2021 (Dokumentasi Pribadi)

Ada keunikan dalam dimensi ekologi dari rancang bangun gedung gereja yang lebih menyerupai gunung ini. Oleh sebab itu disebut jugalah namanya gereja gunung.

Panitia pembangunan gedung gereja gunung Bekerah Simacem-Sioar di antaranya adalah Onasis Sitepu sebagai ketua, Jesaya Sinulingga sebagai sekretaris, dan Darista Tarigan sebagai bendahara.

Barisan prosesi panitia dan pendeta menuju lokasi peletakan batu pertama gereja gunung, Siosar, 28/11/2021 (Dokumentasi Pribadi)
Barisan prosesi panitia dan pendeta menuju lokasi peletakan batu pertama gereja gunung, Siosar, 28/11/2021 (Dokumentasi Pribadi)

Bentuk gedung gereja gunung diniatkan membingkai gunung Sinabung sebagai latar belakang yang berdiri megah di kejauhan, tempat desa asal jemaat gereja yang sudah tertimbun kini. Menyatu dengan lekuk bentang alam kawasan Siosar dipadu dengan sejarah eksodus para pengungsi erupsi Gunung Sinabung.

Tangkapan layar visualisasi desain Gereja Gunung-Siosar (Sumber: Dokumentasi Boy Sembiring Brahmana)
Tangkapan layar visualisasi desain Gereja Gunung-Siosar (Sumber: Dokumentasi Boy Sembiring Brahmana)

Tangkapan layar visualisasi desain Gereja Gunung-Siosar membingkai Sinabung sebagai latar belakang (Sumber: Dokumentasi Boy Sembiring Brahmana)
Tangkapan layar visualisasi desain Gereja Gunung-Siosar membingkai Sinabung sebagai latar belakang (Sumber: Dokumentasi Boy Sembiring Brahmana)

Perpaduan ini diharapkan bisa membawa pesan tentang sebuah masa penantian akan hadirnya perubahan cara pandang dalam memaknai kehadiran manusia di dunia sebagai bagian dari ekosistem, bukan mengepalai ekosistem. 

Manusia tidak sepatutnya berkuasa sekehendak hatinya atas makhluk hidup dan alam ciptaan Tuhan secara keseluruhan.

Sikap seperti itu pada akhirnya bisa mendatangkan bencana dan penderitaan. Di situ pentingnya melepaskan ego dan bergeser ke arah eco (berwawasan lingkungan) dalam mengelola alam ciptaan termasuk ketika melakukan pembangunan.

Hal ini sebagaimana penjelasan dari Boy Brahmawanta Sembiring Brahmana selaku arsitek pembangunan gedung gereja. Beliau adalah ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Sumatra Utara, Ketua I IAI Pusat, yang juga merupakan wakil ketua panitia pembangunan gereja gunung Bekerah Simacem, Sioar.

Kehadiran gereja gunung dan penataan taman sekitarnya juga diniatkan untuk mendukung pariwisata Tanah Karo pada umumnya dan meningkatkan kesejahteraan warga Siosar pada khususnya. Material alami bangunan gereja ini juga nantinya direncanakan akan diambil dari kawasan di sekitar desa di bawah kaki gunung Sinabung.

Untuk mewujudkan niat ini jelas tidak cukup dengan sekadar bermimpi. Sebab bagaimanapun manusia harus terlebih dahulu tertidur untuk bisa bermimpi.

Sebaliknya, untuk mewujudkan sebuah rencana besar yang berdimensi spiritual dan ekologi, perlu dihidupi sebuah visi melalui kerja nyata dengan tekun dan setia. Sebagaimana ungkapan dari Ravi Zacharias, pembela evangelikalisme tradisional yang disebut sebagai apologis agung pada zaman ini, bahwa di mana mata difokuskan, di sana imajinasi menemukan bahan bakunya. Fokus yang tepat harus dimenangkan dengan biaya besar dan disiplin.

Di sanalah sisi Adventus (penantian) yang hendak dihidupkan dalam hati sanubari jemaat, masyarakat, dan siapa pun yang menaruh perhatian atas pembangunan gedung gereja sekaligus kawasan wisata rohani ini menemukan aktualisasinya.

Apa yang hendak dibangun bukan sekadar bangunan mati, melainkan sebuah kapsul waktu yang akan membawa sebuah pesan, berjalan melintasi waktu dan akan hidup sebagai sebuah situs warisan. 

Gereja dan kawasan wisata rohani Siosar ini menyimpan sebuah "pesan rahasia" yang mungkin akan dibuka oleh generasi selanjutnya pada suatu ujung masa penantian, bisa 30, 50, 100 tahun atau lebih.

Gambaran Semangat Toleransi

Lokasi pembangunan gereja ini berdampingan dengan Masjid Siosar yang sudah lebih dulu berdiri. Masyarakat yang mengunjungi gereja bisa menyaksikan galeri pesona alam, histori Sinabung dan Siosar.

Lokasi pembangunan gereja gunung berdampingan dengan masjid, simbol toleransi di Siosar (Dokumentasi Pribadi)
Lokasi pembangunan gereja gunung berdampingan dengan masjid, simbol toleransi di Siosar (Dokumentasi Pribadi)

Tangkapan layar visualisasi desain Gereja Gunung-Siosar (Sumber: Dokumentasi Boy Sembiring Brahmana)
Tangkapan layar visualisasi desain Gereja Gunung-Siosar (Sumber: Dokumentasi Boy Sembiring Brahmana)

Gereja gunung dan Masjid di Siosar yang berdiri berdampingan memberikan gambaran akan nilai toleransi di Siosar dan juga di Indonesia. Semangat toleransi di sana kiranya akan menyambut hangat siapa pun yang akan datang berkunjung ke sana.

Masyarakat yang eksodus akibat bencana erupsi, kini bermukim di sebuah kawasan permukiman yang konon adalah salah satu di antara yang paling tinggi di Tanah Karo dan Sumatra Utara, sebuah kawasan dengan panorama alam yang sangat indah. Kesemuanya adalah perpaduan kontekstual nilai-nilai filosofis budaya Karo dalam sudut pandang ekologi, kebencanaan, teologia, dalam bingkai sebuah visi.

Visi untuk mengaktualisasikan Injil melalui perbuatan. Gereja yang bergaul dengan sekitarnya dalam kehangatan, memikirkan jalan keluar, serta berbuat sesuatu untuk menjawab tuntutan kebutuhan jemaat dan masyarakat sebagai khotbah yang hidup. Ya dan Amin.

Mejuah-juah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun