Hanya dalam hitungan beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan Desember. Bulan di penghujung tahun ini adalah bulan yang akan dipenuhi dengan perayaan natal bagi umat Kristen di seluruh dunia.
Bulan natal identik dengan berbagai dekorasi untuk memeriahkan suasana. Salah satu yang umum dikenal adalah pohon cemara yang dihias menjadi pohon natal.
Beberapa hari yang lalu, satu pohon di antara jejeran pohon cemara angin yang ditanam di belakang kantor kami ditebang karena sudah lapuk. Tingginya yang mencapai kira-kira 25 meter dan kondisinya yang lapuk berpotensi membahayakan pejalan kaki dan kendaraan yang diparkir di bawahnya.
Pohon-pohon cemara angin yang tumbuh tinggi menjulang itu ditanam pada tahun 1995, jadi umurnya sudah 26 tahun. Pohon cemara merupakan jenis tumbuhan yang mampu beradaptasi di segala iklim dan medan, dari dataran tinggi hingga pesisir pantai. Usianya juga bisa mencapai ratusan tahun.
Pada hari itu, empat orang penebang kayu ditugaskan menebang pohon cemara angin yang sudah lapuk itu. Mereka sudah mengerti porsi tugas masing-masing.
Ada yang bertugas sebagai mandor, ada yang memotong dahan dan ranting, serta mengangkat potongan dahan dan ranting ke truk. Namun, ada satu yang paling menyita perhatian saya, petugas pemanjat dan penebang.
Ada risiko dan kesulitan tersendiri saat memanjat dahan-dahan kayu yang sudah lapuk lalu menebangnya tanpa menciderai siapapun atau merusak benda-benda lain di bawahnya. Dari kisah penebang pohon cemara angin yang lapuk itu kita bisa menarik beberapa pelajaran.
1. Semua pekerjaan bernilai dan patut disyukuri
Banyak dari kita yang mungkin pernah mengeluhkan pekerjaan kita. Sebagian dari kita mungkin juga pernah memilih-milih soal pekerjaan, dan barang kali hanya sedikit dari kita yang sangat mampu menikmati apa yang sedang dikerjakan.
Hakekat orang yang hidup adalah bekerja. Selain untuk mendapatkan imbalan guna mencukupi kebutuhan, bekerja juga untuk aktualisasi diri, bahkan sebagai ibadah.
Namun, kenyataannya kita masih sering menjumpai orang yang mengeluhkan pekerjaan sebagai beban bahkan hukuman. Atau bisa juga kita sendiri yang pernah atau sedang mengalaminya.
Tanpa maksud untuk membandingkan pekerjaan satu dan yang lain sebagai pekerjaan besar atau kecil, pekerjaan mulia atau rendah, kita perlu belajar dari orang yang mengerjakan pekerjaan di luar bidang pekerjaan kita. Dari sana kita mungkin bisa lebih mengenal diri kita, mensyukuri kehidupan dan pekerjaan yang sedang kita geluti.
Pada dasarnya semua pekerjaan memiliki nilai dan patut disyukuri. Keahlian dalam pekerjaan, dalam tampilannya yang paling sederhana sekalipun, tidak mengurangi nilainya di antara pekerjaan lain yang bisa saja dipandang lebih mulia.
Lihat saja petugas penebang pohon yang berani memanjat dahan-dahan pohon cemara angin yang sudah lapuk itu hingga ketinggian belasan bahkan puluhan meter. Belum tentu seorang guru besar yang sangat pandai dan bijaksana mampu melakukannya bukan?
Sebuah kelebihan yang kita miliki mungkin dibutuhkan untuk hal lain, dan bisa saja kelebihan yang dimiliki orang lain adalah satu-satunya yang kita butuhkan pada suatu waktu. Tidak semua orang mampu menjadi penebang pohon yang pemberani.
2. Terkadang kita harus tebang pilih, menyisihkan sesuatu demi sesuatu lain yang lebih penting sesuai waktunya
Ada banyak alasan manusia menebang pohon. Salah satunya dan yang sering kali tidak terkendali adalah motif ekonomi. Manusia menebang pohon secara membabi buta demi mendapatkan keuntungan ekonomi tinggi, tanpa memikirkan kerusakan lingkungan yang diakibatkannya.
Selain itu bisa saja karena alasan pemeliharaan dan keselamatan seperti penebangan pohon cemara angin yang lapuk ini. Pohon cemara angin yang masih tumbuh baik tentu saja tidak ikut ditebang, karena berfungsi merindangkan suasana dan menjadi pelindung karena ia juga bermanfaat memecah angin.
Dari sanalah dikenal istilah sistem tebang pilih (high grading) atau penebangan selektif. Menebang pohon yang memiliki nilai jual tinggi, meninggalkan yang bernilai jual rendah, menebang pohon yang sudah tua, meninggalkan yang muda.
Kita juga terkadang perlu "menebang pilih" persoalan hidup agar tidak menyebar dan merusak kehidupan kita secara keseluruhan. Kita perlu memilih kapan waktu yang tepat untuk bekerja keras dan kapan beristirahat atau berlibur.
Mengutip sebuah pepatah Tiongkok kuno, "Istirahat bukan berarti berhenti, tetapi untuk menempuh perjalanan yang lebih jauh lagi."
3. Keahlian sesederhana apa pun patut untuk dihargai
Kita bisa saja kurang menghargai sesuatu atau seseorang hanya karena belum mengenalnya dan mengetahui persis apa atau siapa dia dan bagaimana dia hidup. Karena itu kita perlu sesekali menempatkan diri dalam posisi yang dialami orang lain.
Sebuah data menyimpulkan bahwa pekerjaan penebang pohon termasuk kategori pekerjaan berbahaya sehingga disebut sebagai widowmaker (pembuat janda). Pada tahun 2008, ada 93 jiwa dari sekitar 86.000 pekerja industri penebangan kayu di Amerika Serikat yang meninggal ketika bekerja.
Penyebabnya antara lain karena penebang kayu biasanya bekerja dengan peralatan berat mekanis di area yang tidak rata bahkan licin. Penebang kayu juga berurusan dengan kondisi iklim yang bervariasi, mulai dari ekstrem dingin hingga ekstrem panas.
Selain itu, apabila ada kecelakaan maka lokasi klinik atau rumah sakit bisa jauh dari lokasi penebangan kayu yang biasanya berlangsung di tengah hutan. Oleh sebab itulah istilah widowmaker (pembuat janda) digunakan, karena sering kali terjadi pohon yang ditebang tidak jelas akan jatuh ke mana sehingga dapat membahayakan pekerja.
Melihat keempat orang penebang pohon yang bekerja pada hari itu membantu kita untuk kembali menyadari bahwa setiap orang memiliki keahlian dan risiko kerja yang patut untuk dihargai, sesederhana apa pun itu.
4. Cemara mengajarkan tentang daya tahan dan harapan
Sebagai bagian dari dekorasi natal, cemara yang dihiasi dengan kapas-kapas putih sebagai gambaran gumpalan salju yang biasa turun di bulan Desember, bisa dimaknai sebagai metafora semangat dengan daya tahan tinggi. Seperti halnya juga cemara yang dapat bertahan hidup di segala situasi.
Gambaran lainnya yang mungkin juga masih lekat dalam ingatan kita adalah kisah dalam sinetron "Keluarga Cemara". Sinetron yang dulu diputar di salah satu stasiun televisi nasional ini mengisahkan tentang sebuah keluarga mapan yang jatuh miskin.
Adalah Abah yang dulunya pengusaha sukses dan kaya, tapi suatu ketika usahanya bangkrut hingga keluargan pun jatuh miskin. Akhirnya mereka tinggal di sebuah rumah sederhana di suatu desa.
Namun, kesulitan hidup itu mendorong seluruh anggota keluarga Abah berjuang lebih mandiri untuk dapat melanjutkan kehidupannya sehari-sehari. Abah menjadi tukang becak, Emak menjadi penjual opak dibantu anak-anaknya, Euis, Cemara, dan Agil.
Daya tahan yang membuat keluarga ini tetap bisa bangkit dan mengelola harapan meskipun telah jatuh miskin berasal dari hati mereka yang percaya bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga.
Terima kasih, Cemara. Mejuah-juah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H