Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keheningan yang Riuh

19 Oktober 2021   12:45 Diperbarui: 19 Oktober 2021   12:46 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi keheningan yang riuh (Foto oleh Sebastian Ervi dari Pexels)

Manusia senantiasa merindukan hidupnya menjadi lebih baik dan lebih bermartabat. Begitu juga denganku, pikir Lius. Kerinduannya sebagai manusia tidak ada bedanya dengan manusia-manusia lain di luar sana.

Adakah jalan memenuhi kerinduan itu melewati jalan sepi? Adakah kemungkinan mendapatkan ketenangan melalui keterasingan?

Lius belajar dari penuturan kakek neneknya sejak masa kecil, bahwa menjalin relasi yang baik dengan manusia-manusia lain merupakan jalan menuju keutuhan. Sebab kata kekeknya, dari relasi-relasi itulah dimungkinkan mengalirnya berbagai informasi.

Lius menggugat pikirannya sendiri. Ia butuh ketenangan. Untuk bisa tenang dia merasa perlu adanya keheningan.

Dalam relasi antar manusia, semata-mata dia hanya menemukan keriuhan. Lius menemukan paradoks dalam kemanusiaannya. Paradoks dalam keheningan yang riuh.

Terngiang sebuah ungkapan dari Gabo dalam benaknya. Gabriel Garcia Marquez, sang nobelis sastra tahun 1982 yang dikenal juga sebagai Gabo mengatakan bahwa dia berkomunikasi dengan dirinya secara efektif hanya sejauh dia berkomunikasi dengan orang lain.

Dalam kaitan itu tidak mungkin menjadi manusia seutuhnya dengan hidup terasing dari yang lain, pikir Lius.

Pikiran yang berkecamuk di tempurung kepalanya menyebabkan ketegangan dalam jiwanya. Lius marah, tapi entah kepada siapa.

Ia merasa tidak mengenal dirinya sendiri. Hingga kemudian terjadilah perjalanan tarik-menarik menggapai ketenangan dalam kesendirian di tengah keriuhan hidupnya yang bagai pasar itu.

Ia membangun kesadaran bahwa hanya dengan berkomunikasi dengan orang lain ia dapat lebih mengenali dirinya. Dan ketika ia lebih mengenali dirinya, ia pun dapat mengenali ruang tempatnya berada.

Lius kemudian tahu apa yang harus dilakukannya dan bagaimana cara melakukannya. Jadilah hari ke hari hidupnya antisipatif, membaik, dan martabatnya menaik.

Lius kemudian memilih menjadi wartawan. Dia ingin menjadi wartawan yang budiman. Dia bertekad membangun jembatan untuk menghubungkan relasi baik antar manusia yang terbatas itu. Keterbatasan relasi baik itulah yang membuat terbatasnya informasi yang bisa didapat oleh setiap orang untuk memperbaiki kualitas hidupnya.

Terbatasnya kapasitas setiap orang menjadi batasan kemungkinkan realitas untuk menjadikan hidup mereka membaik dan semakin bermartabat. Barangkali itu pulalah yang membuat manusia menjadi cemas, gundah, frustrasi, stres, insomnia, kerap mencengkeram mereka.

Lius menjadi wartawan dengan niat mengatasi keresahan sosial agar tidak tumbuh dan berkembang seperti lumut dan lumpur di musim hujan. Untuk itu Lius tidak mungkin hidup dalam kesendirian, melainkan harus hidup berkecimpung dalam keriuhan dan dengan sepatu yang kotor dalam mengarungi perjalanannya.

Lius belajar menulis mengartikan cahaya, sebab cahaya selalu lebih cepat dari suara. Pikiranya itu adalah penjelasan mengapa manusia memberikan respons reaktif atas setiap fenomena yang tampak sebelum manusia-manusia itu memahaminya.

Hal itu jamak terjadi. Manusia cenderung lebih percaya apa yang dia lihat daripada apa yang dia dengar. Terlebih lagi, lebih banyak manusia yang malas membaca.

Lius belajar bahwa seharusnya kita memperlakukan apa pun sebagaimana kita ingin diri kita diperlakukan. Iman Lius dibangunnya di atas lembaran-lembaran halaman koran. Ia mengkaji kebijakan.

Ketika hujan lebat datang, sementara pada saat bersamaan belahan bumi yang lain mengalami kekeringan berkepanjangan, itu adalah rahasia sang pencipta. Supaya kita tahu apa artinya hidup dalam kekurangan saat mengalami kelimpahan dan apa artinya hidup berpengharapan di masa kesusahan.

Ketika hujan lebat datang, ia datang membawa berkat sekaligus ancaman bagi sebagian. Seperti mentari memberi kehidupan tanpa memandang kebaikan dan keburukan yang telah dilakukan, sesungguhnya demikianlah sukacita memiliki teman yang selalu memikirkan kebaikan untuk dilakukan kepada teman.

Dalam sebuah tajuk rencana, Lius menuliskan bahwa kebijakan selalu diiringi hal yang positif dan negatif dalam waktu yang bersamaan, kompleks dan sukar dimengerti. Itu merupakan siklus dengan pendekatan suksesif, diterapkan untuk dievaluasi dan diterapkan kembali. Selamanya kompleks dan sukar dimengerti.

Pada suatu malam, ketika akan berangkat tidur ke peraduan, Lius berkata kepada dirinya di masa depan, "Aku cuma bilang kalau aku mau dunia tempat hidupku ini seindah dunia yang dinikmati kakek dan nenek saat seumuranku. Karena itu adalah utang kakek dan nenek kepada cucu dan cicitnya yang hidup pada generasi kami selanjutnya."

Lius ketiduran dengan pikirannya yang berkecamuk. Lidah dan tangannya memang tidak sedang bekerja, keriuhan itu terjadi dalam benaknya di tengah gelap dan dinginnya malam yang sunyi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun