Sore itu Eman harap-harap cemas. Profesor Embing yang akan ditemuinya, terkenal ketus kepada mahasiswa tingkat akhir yang tidak terlalu berbakat seperti dirinya.
Kedekatannya dengan Mirna, putri semata wayang sang profesor jelas tak cukup menjembatani kepentingan akademiknya. Apalagi dalam perkenalan awalnya dengan sang dosen pembimbing sudah ada drama.
Eman minta tolong dan berharap dapat cepat lulus karena pamannya di kampung sudah berniat segera menjodohkannya dengan Enik, kembang desa, anak pamannya itu.
Bisa-bisa ia justru akan dibantai habis oleh prof Embing karena sudah lancang bermain hati dengan Mirna. Sudah tak berbakat, lancang pula.
"Selamat siang, Prof," sapa Eman sesopan mungkin setelah mengetok daun pintu tiga kali. Map plastik yang berisi bab pertama skripsi hasil perbaikan dari pertemuan sebelumnya dijepitnya rapat, seperti seorang ajudan yang bersiap menyerahkan teks Pancasila untuk dibacakan oleh inspektur upacara.
"Masuk," jawab prof Embing singkat, tapi tampak santai meneruskan catatannya di atas lembaran buku almanak tebal berkulit lusuh.
"Duduklah," katanya sambil mempersilakan Eman mendaratkan bokongnya yang tegang di atas kursi tamu yang empuk di ruang kerjanya.
"Terima kasih, Prof," balas Eman. Dia duduk dengan sangat sopan.
"Bagaimana, sudah kamu perbaiki yang saya koreksi kemarin itu?" tanya prof Embing.
"Sudah, Prof," kata Eman sambil mengurai tali kancing map plastik miliknya. Ia bersiap-siap menyahuti langkah selanjutnya jika profesor sepuh itu akan memintanya untuk disodorkan kepadanya.
"Okelah, taruh saja di situ. Nanti akan saya periksa," jawab sang profesor sambil menatap sejenak ke Eman tanpa melepaskan pena tinta cairnya.
"Kamu boleh pergi. Nanti datang lagi siang Senin depan," sambungnya.
"Terima kasih, Prof," kata Eman sambil bersiap beranjak dari kursinya tanpa ada niat untuk bertanya lebih jauh soal apa pun terkait barang bawaan yang penting bagi masa depan gelar sarjananya.
"Permisi, Prof," kata Eman sambil membungkuk takzim.
"Ya. Eh, kamu teman Mirna, anak saya, bukan?" tanya profesor.
Belum sempat Eman menjawab, sang profesor kembali membuat Eman terkejut. "Mirna titip salam, katanya kalau saya ketemu sama kamu, bilang agar kamu menghubunginya. Dia kurang enak badan beberapa hari ini," kata prof Embing.
Eman terkejut. Bukan main senangnya hatinya. Meskipun dia sudah pernah bercerita, dengan dramatis, bahwa dia punya tunangan dari keluarga pihak ibunya di kampung, yang menanti gelar sarjana hukum tersemat di namanya yang hanya empat huruf, sang profesor tampaknya menerimanya dengan hati terbuka untuk "berteman" dengan Mirna, anaknya.
Bukan main baiknya bapak ini, pikir Eman. Mengapa aku yang lancang dan tak menonjol ini disambut dengan baik meskipun penuh sandiwara, pikirnya.
Eman merasa lututnya lemas. Bukan karena cemas, tapi perasaannya melayang dalam kasmaran.
"Baik, Prof. Terima kasih, saya pamit undur diri," katanya. Kali ini suara dan sikapnya mantap.
Keluar dari ruangan bimbingan bagi orang-orang terpelajar itu dia merasakan bibirnya agak basah. Sungguh senang bukan main hatinya.
Bibirnya dirasanya semakin basah. Padahal belum lagi dia bersua dengan Mirna. Baru jua membayangkan eloknya raut wajahnya saja.
"Guk...guk...guk...," Eman terbangun. Ia terkejut karena paras elok Mirna telah sirna.
Blacky anak anjing jantan yang baru sebulan dipeliharanya entah sudah berapa lama menjilati bibir tuannya itu. Eman yang disuruh emaknya menghalau burung di sawah yang padinya mulai menguning, rupanya ketiduran dengan pulasnya di atas dangau di tengah sawah.
Ia kekenyangan setelah melahap habis bekal makan siang yang disiapkan emaknya. Hari sudah menjelang senja.
Blacky berlari berputar-putar mengitari tuannya sambil mengibas-ngibaskan ekornya yang mungil. Blacky tampak senang karena tahu sudah waktunya untuk mereka pulang. Sedangkan Eman tampak lemas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H