"Okelah, taruh saja di situ. Nanti akan saya periksa," jawab sang profesor sambil menatap sejenak ke Eman tanpa melepaskan pena tinta cairnya.
"Kamu boleh pergi. Nanti datang lagi siang Senin depan," sambungnya.
"Terima kasih, Prof," kata Eman sambil bersiap beranjak dari kursinya tanpa ada niat untuk bertanya lebih jauh soal apa pun terkait barang bawaan yang penting bagi masa depan gelar sarjananya.
"Permisi, Prof," kata Eman sambil membungkuk takzim.
"Ya. Eh, kamu teman Mirna, anak saya, bukan?" tanya profesor.
Belum sempat Eman menjawab, sang profesor kembali membuat Eman terkejut. "Mirna titip salam, katanya kalau saya ketemu sama kamu, bilang agar kamu menghubunginya. Dia kurang enak badan beberapa hari ini," kata prof Embing.
Eman terkejut. Bukan main senangnya hatinya. Meskipun dia sudah pernah bercerita, dengan dramatis, bahwa dia punya tunangan dari keluarga pihak ibunya di kampung, yang menanti gelar sarjana hukum tersemat di namanya yang hanya empat huruf, sang profesor tampaknya menerimanya dengan hati terbuka untuk "berteman" dengan Mirna, anaknya.
Bukan main baiknya bapak ini, pikir Eman. Mengapa aku yang lancang dan tak menonjol ini disambut dengan baik meskipun penuh sandiwara, pikirnya.
Eman merasa lututnya lemas. Bukan karena cemas, tapi perasaannya melayang dalam kasmaran.
"Baik, Prof. Terima kasih, saya pamit undur diri," katanya. Kali ini suara dan sikapnya mantap.
Keluar dari ruangan bimbingan bagi orang-orang terpelajar itu dia merasakan bibirnya agak basah. Sungguh senang bukan main hatinya.