Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Inspirasi dari "Beca Online" Pedesaan

11 September 2021   12:33 Diperbarui: 11 September 2021   13:03 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dampak disrupsi teknologi dan perubahan pandangan terhadap gaya hidup bergerombol, terutama pada masa pandemi, tidak luput jua sudah menjangkau desa-desa. Salah satu contoh kecil bisa kita temukan dalam pergeseran gaya angkutan pedesaan.

Pada masa-masa sekitar 20 sampai 10 tahun yang lalu, mayoritas moda transportasi umum pedesaan di Tanah Karo adalah berupa minibus. Bahkan di beberapa desa yang terjauh, dengan kondisi jalan yang belum mantap, hanya bisa dijangkau dengan kendaraan double gardan. Jumlah angkutannya pun hanya ada satu dua.

Setidaknya dalam 10 tahun terakhir ini, saya menemukan lebih banyak alternatif angkutan pedesaan pada desa-desa di Tanah Karo. Salah satunya adalah beca bermotor yang dimodifikasi ini.

Suatu ketika, saya berbincang dengan Markiano Ginting dan Gandi Sitepu. Kedua orang ini adalah pengendara beca motor di desa Kubu Simbelang, kecamatan Tigapanah, kabupaten Karo.

Pangkalan beca bermotor pedesaan (Dok. Pribadi) 
Pangkalan beca bermotor pedesaan (Dok. Pribadi) 

Menurut penuturan Markiano Ginting, saat ini ada 12 unit beca bermotor di desa ini. Dia sendiri sudah menjalani profesi ini sejak 2,5 tahun yang lalu.

Ada cerita yang menarik di balik latar belakang kemunculan moda transportasi yang satu ini. Sebenarnya sudah ada minibus yang menjadi angkutan dari dan ke desa ini pada masa-masa sebelumnya.

Saya ada melihat salah satunya yang sudah agak lusuh dan terparkir di garasi rumah penduduk. Sepertinya sudah agak lama tidak beroperasi. Apalagi seperti saat ini, sekolah pun nyaris sudah dua tahun kurang beberapa bulan menghentikan sementara sistem belajar secara tatap muka . Sudah barang tentu penumpang angkutan pun berkurang.

Angkutan minibus itu tidak beroperasi lagi boleh jadi karena tuntutan gaya hidup masyarakat masa kini yang sudah semakin remote dan mobile. Sebentar-sebentar ke sana, lalu ke sini, kemudian ke sana lagi. Selanjutnya, kalau bisa mau urus ini dan itu tanpa perlu kemana-mana.

Manusia Kini dengan Semakin Banyak Keperluan dan Kepentingan untuk Diurus

Bisa dibayangkan, seingat saya dulu operasi minibus angkutan pedesaan hanya beberapa kali dalam sehari. Pagi dan siang menjelang sore terkait dengan pengangkutan pulang pergi anak sekolah lanjutan (baik tingkat pertama maupun menengah) yang belajar di sekolah-sekolah yang berada di ibukota kecamatan atau kabupaten.

Lebih dari dua kali, perjalanan pulang pergi angkutan pedesaan itu terkadang bisa ditambah sekali lagi untuk membawa penumpang yang menjual hasil bumi ke pasar. Jadi, sehari hanya ada dua dan paling banyak tiga kali perjalanan saja dari dan ke desa.

Berangkatnya pun harus menunggu muatan penuh dulu. Oleh sebab itu, bila hendak pergi ke kota tak jarang kita perlu menunggu duduk berjam-jam di atas angkutan. Sementara sang supir menunggu sambil bermain catur di dalam kedai, entah sampai berapa partai pertandingan.

Meksipun begitu kita takut juga beranjak dari tempat duduk. Bila beranjak takut hilang tempat duduk. Kata orang-orang, "angkat pantat hilang tempat". Kenyataan seperti itu sama sekali jauh dari pengertian masyarakat yang remote dan mobile.

Masyarakat kini hidup dengan mobilitas tinggi, jauh dan dekat tidak menjadi penghalang. Manusia masa kini membawa serta semua keperluan dan kepentingan dalam jaringannya yang terkoneksi.

Menariknya, disrupsi teknologi yang merambah pedesaan turut membentuk perubahan perlilaku masyarakat agraris dalam menjual hasil pertanian dan memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Jadi, gaya hidup seperti ini tidak dibatasi pengertian tunggal tentang cara hidup dalam jaringan (online) seperti penggunaan aplikasi-aplikasi pengantaran (jasa titipan) yang ada di perkotaan. Di desa pun semangat "onlen" ini sudah tumbuh semakin subur.

Seperti pengakuan Markiano, masyarakat desa sudah biasa meminta bantuan para abang beca milenial ini untuk menjualkan hasil pertaniannya ke pasar. Mereka sendiri, para petani itu, tidak perlu ikut ke pasar. Mereka bisa tetap melakukan kesibukan yang lain di ladangnya atau hal lainnya.

Beca bermotor
Beca bermotor "online" pedesaan (Dok. Pribadi)

Selain itu, abang beca ini bisa juga dimintai tolong ke pasar untuk berbelanja barang kebutuhan masyarakat desa. Lagipula nomor telefon masing-masing abang beca terpampang di kaca becanya.

Uang hasil penjualan akan diantarkan ke rumah si petani, berikut barang-barang belanjaan sesuai pesanan. Abang beca menerima imbalan atas jasa mereka.

Namun, ada yang menarik dan membedakan abang beca milenial pedesaan ini dengan awak aplikasi online di perkotaan yang umum kita temui. Percaya atau tidak, menurut pengakuan Markiano dan Gandi, tarif angkutan beca motor ini fleksibel, seikhlas dan senangnya penyewa.

"Lagipula mereka sudah bisa menimbang sendiri kelayakan dan kepatutan sewa sesuai dengan kebutuhan mereka, jauhnya jarak yang diperlukan untuk keperluannya itu, dan kemampuan mereka sendiri, Bang", kata Markiano.

Dalam sistem sosial masyarakat Karo sikap seperti ini, transaksi suka rela antara penyedia dan penerima jasa ini, disebut "asa meriah ukur." Artinya seikhlas dan serelanya dalam memberi dilandasi suka cita.

"Walau pun hanya sekadar 2 kg cabe akan kami antarakan ke pasar, Bang", kata Gandi menimpali. Dia sibuk mengatur posisi dua karung besar cabe penumpangnya yang akan dibawa ke pasar hari ini.

Mengangkut cabe petani dengan beca bermotor (Dok. Pribadi)
Mengangkut cabe petani dengan beca bermotor (Dok. Pribadi)

Keramahan penumpang beca motor (Dok. Pribadi)
Keramahan penumpang beca motor (Dok. Pribadi)

Sang penumpang beca motor ini pun tersenyum, sumringah dalam keramahan. Sikap-sikap seperti ini, keramahtamahan dan saling percaya, adalah modal sosial masyarakat desa yang sangat penting untuk tetap dilestarikan sekalipun zaman sudah modern.

Keunggulan cara hidup yang serba remote dan mobile di zaman modern tidak hanya ditentukan oleh "cari, temukan, klik, jemput, antar, bayar" dalam kecepatan yang diganjar dengan sejumlah tanda bintang.

Respons yang tepat sesuai kebutuhan meskipun dalam kemasan yang berbeda tidak mengurangi makna bahwa masyarakat desa pun hidup di dalam jaringan (online). 

Saat pandemi mengguncang kota-kota besar, nyatanya lebih banyak desa dan warganya yang relatif lebih bertahan dengan jaringannya sendiri.

Kisah ini hanyalah sedikit contoh bahwa dalam banyak hal, kehadiran sesuatu seperti beca motor a la pedesaan ini memang didorong oleh adanya kebutuhan dan permintaan dari masyarakat sendiri. Bila ada kesamaan nama dan tempat, itu karena kenyataan ini memang benar adanya.

Salam inspirasi, "tariiik, Baaang...".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun