Seolah itu adalah momen metanoia. Saya mendapatkan momen permenungan, berlebihan atau tidak, mungkin bisa dibilang kesadaran menuju sebuah pertobatan. Barangkali sebuah pertobatan kecil.
Itu adalah momen cahaya yang berhamburan di sela-sela pepohonan yang diselimuti asap. Eureka! Kebenaran itu sudah lama ada di sana, tapi asap dan cahaya sore hari itu kembali mengingatkannya.
Efek cahaya yang berhamburan itu dalam ilmu fisika dikenal dengan istilah efek Tyndall. Itu adalah gejala penghamburan berkas sinar (cahaya) oleh partikel-partikel koloid disebabkan karena ukuran molekul koloid yang cukup besar.
Efek Tyndall ditemukan oleh John Tyndall (1820-1893), seorang ahli fisika Inggris pada tahun 1869. Ia menemukan bahwa apabila suatu berkas cahaya dilewatkan pada sistem koloid maka berkas cahaya tadi akan tampak.
Koloid merupakan suatu bentuk campuran (dispersi) dua atau lebih zat yang bersifat heterogen namun memiliki ukuran partikel terdispersi yang cukup besar (1 - 10000 nm). Bersifat heterogen berarti partikel terdispersi tidak terpengaruh oleh gaya gravitasi atau gaya lain yang dikenakan kepadanya sehingga tidak terjadi pengendapan.
Susu, agar-agar, tinta, sampo, awan, termasuk asap yang menyelimuti pepohonan dan menghamburkan berkas sinar matahari pada sore itu merupakan contoh-contoh koloid yang dapat dijumpai sehari-hari.
Saat terjadi penghamburan cahaya matahari oleh partikel-partikel koloid di angkasa, tidak semua frekuensi sinar matahari dihamburkan dengan intensitas yang sama. Hal inilah yang menjelaskan apa yang terjadi pada warna-warna pelangi.
Kesadaran dari Cahaya yang Terdispersi Asap
Kembali ke soal makanan yang diasapi, apakah itu sehat? Cahaya yang tercampur asap itu membawa saya kepada sebuah pencarian menurut ahli kesehatan.
Bukan rahasia lagi, betapa nikmatnya (menurut saya) menyantap daging sate yang dibakar di atas arang, atau daging yang dipanggang merata di atas bara yang menyala merata. Namun, ada beberapa hal yang patut diperhatikan terkait kebiasaan menyantap makanan yang diasapi ini.