Berbagi dan menikmati hasil bumi adalah modal sosial pergaulan masyarakat agraris. Masing-masing orang membagikan apa yang mereka tanam di ladang atau hanya di pekarangan rumahnya.
Setiap orang tentu hanya bisa membagikan apa yang mereka punyai. Namun, dengan semangat berbagi itu, tampaknya setiap orang dimungkinkan menikmati tidak hanya hasil bumi yang mereka tanam.
Bahkan, bagi orang yang tidak menanam apapun sama sekali bisa ikut menikmati hasil bumi di bumi masyarakat agraris. Bukan dengan cara membeli, tapi yang satu ini dikenal dengan istilah "modal pergaulan".
Saya pernah dibagikan ubi jalar, kentang, dan ubi kayu oleh seorag teman. Satu pun di antara hasil bumi itu tidak ada yang saya tanam sendiri.Â
Bahkan, tidak pula oleh teman yang membagikannya kepada saya itu. Melainkan dibagikan oleh temannya teman saya itu yang memang seorang petani dan memiliki ladang untuk bercocok tanam.
Saya sering kali memetik kebaikan alam dari tanaman yang tumbuh liar. Salah satunya dari tumbuhan "bungke rimbang" yang buahnya bisa diolah menjadi sayur.
Menyadari diri tinggal di daerah agraris, tapi tidak berprofesi sebagai petani, maka istri saya mengolah pemberian teman itu untuk kami nikmati bersama dengan teman saya yang suka berbagi itu.
Setiap minggu, pada hari Sabtu dan Minggu, sudah menjadi kebiasaan kami untuk tinggal di sebuah pondok di puncak bukit. Teman saya itu dan istrinya juga tinggal di puncak bukit itu. Mereka hanya tinggal berdua dan sudah lanjut usia.
Selain terasa aman dan nyaman karena jauh dari kerumunan, puncak bukit itu juga adalah juga tempat berlibur yang tampak sesuai dengan anjuran kesehatan dalam masa pandemi. Tentu saja jauh dari kebisingan.
Sering kali kami menikmati makan siang, makan malam, dan juga makanan ringan ditemani menu olahan hasil bumi modal pergaulan itu.Â
Tentu saja, karena menu-menu itu diolah dari bahan-bahan yang dibagikan oleh orang-orang yang dipenuhi kebaikan, dan alam yang ramah memberi, tak elok rasanya bila sebagian tidak dikembalikan ke alam. Tokh alam akan memberi kembali dari benih dan bibit yang ditanam.
Semaian dan bibit yang ditanam, secara misterius, menemukan kembali awal kehidupan di dalam tanah setiap kali ia ditanam kembali. Ia kembali menjadi tunas, pucuk, bunga, umbi, dan buah yang pada saatnya dapat terhidang pada piring-piring di atas meja makan.
Tanah yang ramah selalu menyimpan misteri, dengan caranya yang khas menumbuhkan kembali biji-biji dan bibit tanaman dari dalam perut bumi.
Tidak hanya dengan manusia, ternyata dengan alam, dengan tanah, air, sinar matahari, dan udara, pergaulan menjadi sebuah modal untuk manusia bisa tetap bertahan hidup.
Menyirami tanaman sama halnya dengan menyirami persahabatan dan pergaulan. Bila demikian halnya, mengapa kita tidak selalu senang bersahabat dengan alam?Â
Kalau ternyata hidup sering memberikan pelajaran bahwa sering kali dalam hidup ini kita bisa bertahan dengan modal pergaulan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H