Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Permenungan Senja di Kaki Langit

25 Juli 2021   23:30 Diperbarui: 26 Juli 2021   01:10 2386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan siluet senja di kaki langit (Dokpri)

"Matahari terbenam adalah bukti bahwa apa pun yang terjadi, setiap hari dapat berakhir dengan indah." (Kristen Butler)

Hobi, apa pun itu, akan menghasilkan perasaan senang pada orang yang menyukainya. Tak jarang, seseorang rela menghabiskan banyak uang demi menyalurkan hobinya.

Namun, ada juga hobi yang bisa disalurkan dengan biaya semurah-murahnya sekaligus dengan kesenangan maksimal. Memandangi langit, menikmati, dan kemudian merekam beragam fenomena yang terlukis di permukaannya adalah salah satunya.

Apakah itu ketika sedang berada di ladang, dalam perjalanan menuju suatu tempat, apalagi kalau sedang liburan, rasanya tak pernah bosan menikmati lukisan alam yang tergurat di kanvas luar biasa itu, di permukaan langit, di cakrawala. Bukan tanpa maksud mengapa cakrawala sering dihubungkan dengan kemampuan berpikir.

Dalam KBBI, cakrawala bisa berarti jangkauan pandangan, khazanah, dan kekayaan. Kita juga mengetahui bahwa sinonim untuk cakrawala adalah horizon.

Siluet senja saat matahari terbenam (Dokpri)
Siluet senja saat matahari terbenam (Dokpri)

Memandangi fenomena siluet senja, sebagaimana contoh di atas, yang merupakan perpaduan dari siluet gubuk di ladang, dahan-dahan kering dari pohon tua yang meranggas di musim kemarau, dengan latar belakang matahari menjelang terbenam di ufuk Barat, kita akan mudah terhanyut dalam sebuah permenungan.

Hal itu tentu saja berhubungan erat dengan keberadaan horizon yang di daerah pantai menjadi tapal batas jarak pandang, di mana langit dan air laut tampak bisa bertemu. Sementara itu pada saat yang sama, horizon bagi daerah pegunungan menjadi tempat jatuhnya matahari di balik gunung saat senja, sedangkan bagi sebagian lainnya horizon adalah tempat munculnya matahari pada keesokan harinya.

Horizon adalah titik pertemuan dari berbagai rasa dalam kehidupan.

Maka tidak berlebihan kiranya bila Kristen Butler menyebutkan bahwa apa pun yang terjadi, matahari terbenam adalah bukti bahwa setiap hari dapat berakhir dengan indah.

Penderitaan, kesedihan, keletihan, dan kepedihan mungkin akan memberikan respons yang sinis terhadap permenungan yang tampak utopis itu. Namun, matahari terbenam memang akan memberikan setidaknya sedikit saja jeda sebagai sumber kekuatan dan penghiburan di antara semua penderitaan, kesedihan, keletihan, dan kepedihan yang kita alami dalam hidup setiap hari.

Dalam jeda yang singkat itu, kita mungkin akan mampu merasai bahwa masih ada keluarga, sahabat, yang mau mendengar keluh kesah kita dengan penuh ketulusan. Meskipun sebenarnya ia juga dirundung oleh penderitaan, kesedihan, keletihan, dan kepedihannya sendiri.

Bukankah kitab suci juga menuliskan tentang hal itu? Kesusahan hari ini cukuplah menjadi kesusahan sehari, karena esok memiliki kesusahannya sendiri. Makna ungkapan itu tergambar dalam indahnya lukisan matahari terbenam yang hanya berlangsung sekejap.

Sebentar saja, siluet dalam sapuan lembut semburat warna-warni senja itu akan berganti dengan pekatnya gelap malam ketika matahari tenggelam. Sesudahnya, tidak setiap malam gelap disinari oleh terang rembulan.

Benarlah makna ungkapan "panta rhei kai uden menei" dari Herakleitos itu. Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap.

Dalam semua hal yang saling berlawanan di alam semesta, menurut Herakleitos tidak ada satu pun hal yang bersifat tetap atau permanen. Tidak ada sesuatu yang betul-betul ada, semuanya berada di dalam proses menjadi.

Hari terang menjadi gelap, karena ketiadaan terang. Kemudian hari menjadi terang, karena gelap dikalahkan. Semua yang tampak ada karena sebenarnya sekaligus ada yang menjadi tiada.

Siluet senja menjadi lukisan yang melahirkan permenungan tentang kesatuan dalam perubahan.

Ada sebuah catatan kecil dari Hilde Moller Knag, karakter fiksi dalam novel filsafat Dunia Sophie. Sejak abad kegelapan sampai masa pencerahan, perbedaan pendapat dan pertentangan dari semua hal yang berkebalikan terus terjadi. Namun, kesemuanya ibarat benang putih dan hitam yang terjalin erat satu sama lain dan sulit dipisahkan.

Pikiran-pikiran yang datang kemudian sebenarnya hanya pengurangan, penambahan, atau perluasan dari pikiran-pikiran yang sudah ada sebelumnya. Tidak ada yang baru.

Dualisme dan monisme bahkan kadang-kadang bisa sama dalam minimal satu hal, yakni pentingnya berpikir. Maka kalau ada yang percaya bahwa dunia adalah milik orang-orang yang berpikir, salah satunya adalah ayah Hilde, Albert Knag.

Dia memanipulasi pikiran orang-orang yang mengalami kegelisahan eksistensial untuk bekerja menjalani kesehariannya seolah dialah yang mengendalikan hidup mereka. Filsafat memberinya landasan untuk bisa memprediksi secara cermat bagaimana manusia yang materialis, rasionalis, dan idealis akan memilih keputusan sebagai tindakan.

Sampai mereka akhirnya sadar dan kembali menguasai pikirannya sendiri, saat itu pun mereka masih ragu, jangan-jangan mereka memang hanya objek pikiran. Monisme dan dualisme sama terkait aspek material, bahwa apapun manusia materi itu, ada sumber material yang lebih besar dari dirinya.

Ah, meskipun ini hanya sebuah pemandangan siluet senja yang sementara dan sederhana saja, daripadanya masih bisa didapatkan sedikit jeda untuk mengagumi akhir hari yang indah. Apa pun yang terjadi tadi, sebelumnya, sesudahnya, dan selanjutnya nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun