"Bahaya itu nyata, tetapi menjadi takut itu pilihan."Â - Will Smith dalam "After Earth" (2013)
Ada banyak alasan mengapa seseorang bersembunyi atau melarikan diri. Salah satunya adalah karena merasa takut, atau merasa terancam oleh suatu bahaya.
Bersembunyi atau melarikan diri terkadang bisa menjadi jalan selamat. Namun, tak jarang juga bisa menyebabkan munculnya perasaan takut dan perasaan terancam yang lainnya.
Bersembunyi atau melarikan diri bisa saja dalam arti yang sebenarnya maupun dalam makna kiasan. Namun untuk keduanya dampaknya sama-sama nyata. Oleh karena bahaya senantiasa ada selama kita hidup, maka kehidupan di dunia ini terasa bagai sebuah pengembaraan, untuk tidak menyebutnya sebagai sebuah pelarian, apalagi persembunyian.
Dalam gambaran ini, kehidupan bukanlah menjadi sebuah tujuan, melainkan sebuah proses. Umumnya demi mencapai sebuah tujuan, kita akan senantiasa berusaha untuk tetap mampu bertahan menjalani proses.
Dari sanalah datangnya harapan. Harapan itu didasari oleh iman. Ia adalah dasar dari segala sesuatu yang kita percayai, dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.
Selalu ada harapan dalam hidup karena hidup belum berakhir. Sesuatu yang sudah berakhir tentu bukan lagi sesuatu yang perlu untuk diharapkan, karena telah menjadi kenyataan.
Dalam kehidupan yang diisi oleh suka dan duka silih berganti, atau bahkan bisa saja terasa melulu diisi duka, pun sepatutnya selalu masih terselip harapan di dalamnya. Harapan itu setidaknya seperti bunga plum yang hanya mekar sebentar, lalu gugur ke tanah.
Namun, bunga plum dalam kesementaraannya masih tetap bermanfaat sebagai obat. Angin membawa bijinya hingga tersebar dan akan tumbuh di suatu tempat yang bahkan jauh dari tempat hidupnya semula.
Meskipun rapuh dalam kesementaraan, siklus hidup bunga plum yang singkat itu akan terus berulang di suatu tempat. Dengan begitu manfaatnya tetap dapat dirasakan.
Manusia dan Bumi yang Merana
Sebuah gambaran kesuraman dapat dirasakan dalam diri Franz Kafka pada novel "Surat untuk Ayah" yang ditulisnya saat ia berusia 36 tahun.
Sebagai seorang anak yang suka membangkang kepada ayahnya yang ortodoks, Kafka juga melampiaskan rasa frustasinya kepada ibunya yang sesungguhnya menanggung derita dua kali lipat dari ayahnya.
Ia merasa sebagai seorang yang rapuh dan kerdil di hadapan ayahnya yang perkasa tapi sekaligus diktator. Ia menggambarkan diri sebagai seorang perusak bumi.Â
Barangkali manusia tanpa sadar sebenarnya telah sangat menyakiti bumi. Namun, kenyataannya bumi masih saja bertahan, sedangkan manusia datang dan pergi silih berganti.
Bumi mungkin akan bertahan, tapi tanpa kita ikut di dalamnya. Gambaran itu kurang lebih melukiskan perasaan dalam isi surat yang dituliskan oleh Kafka kepada ayahnya.
Ia yang menggambarkan dirinya sedang menuliskan perasaannya melalui sebuah surat kepada matahari. Katanya, "Kali terakhir ketika aku sakit dan kau terbit diam-diam mendatangiku dari ufuk timur, berdiri di ambang pintu, hanya melongok untuk melihatku yang terbaring di ranjang. Dengan gerakan sambil lalu, engkau melambai kepadaku. Pada waktu-waktu seperti itu aku berbaring dan menangis bahagia, dan sekarang pun aku menangis lagi saat menuliskannya."
Banyak hal yang bisa terasa mengancam dan membahayakan dalam hidup yang sementara ini. Namun, menjadi takut bagaimana pun adalah sebuah pilihan.
Bukan tanpa alasan mengapa iman mengajarkan kita bahwa lawan dari takut bukanlah berani, melainkan percaya. Sebab iman dan percaya adalah modal bagi kita untuk tetap mampu menjaga harapan selalu ada dalam hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H