"Apa pun yang membuat kita mampu bertahan akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu menjadi adat dan kebudayaan kita kemudian."
Cerita Godzilla sebagai Pembuka
Dalam film "Godzilla II: King of the Monsters" (2019), berlangsung pertarungan antara makhluk-makhluk raksasa. Berbagai makhluk monster ini telah lama dikurung pada gunung-gunung di berbagai belahan bumi dan dikendalikan oleh sebuah organisasi bernama Monarch.
Pertarungan mematikan di level pamungkas berlangsung antara Godzilla dengan kekuatan termonuklirnya dan Monster Zero, seekor naga berkepala tiga yang bisa mereplikasi kepalanya dan diyakini sebagai makhluk alien. Kelihatannya pemenangnya masih manusia kali ini.Â
Ada pihak manusia yang meyakini bahwa para "makhluk dewa" ini berasal dari masa yang lebih tua dari mitologi Yunani, Mesir, dan Romawi. Pertarungan mematikan antar monster ini mereka yakini sebagai salah satu jalan untuk mengembalikan keseimbangan bumi.
Dalihnya taklain adalah karena terjadinya overpopulasi manusia. Tuntutan kebutuhan manusia yang takterbatas telah menyebabkan kerusakan masif bagi bumi.
Tentu saja film ini adalah fiksi. Manusia dalam kocar-kacirnya tampak taklebih sekadar mangsa bagi makhluk raksasa berkekuatan super yang bahkan tidak pernah bisa dibayangkan ada dan diketahui namanya.
Sebagaimana digambarkan dalam sebuah tayangan dokumenter di Nat Geo Wild tentang dampak perkembangan populasi, bahwa salah satu kesulitan hidup bergerombol adalah perebutan makanan. Istilahnya feeding frenzy.
Mengenang Pendaratan Pertama Manusia di Bulan. Ambisi atau Utopia?Â
Bumi semakin menua, dan apa saja yang hidup memang lumrah mengalami penuaan. Lantas kemana lagi manusia akan mengungsi agar selamat dan kebutuhannya tercukupi?
Kurang dari tiga hari lagi, tepatnya pada 20 Juli 2021, kita akan mengenang 52 tahun pendaratan pertama manusia di bulan. Pendaratan Neil Armstrong, Michael Collins, dan Edwin Aldrin itu terjadi pada 20 Juli 1969.
Dilansir dari cnn.com, bahwa menjelang akhir masa jabatannya sebagai Presiden Amerika Serikat, Donald Trump memberikan sebuah arahan untuk mempercepat misi pendaratan kembali manusia ke bulan. Misi ini dinamakan Ertemis, dewi dalam mitologi Yunani yang merupakan saudara kembar dewa Apollo.
Target pendaratannya adalah pada tahun 2024. Diawali dengan misi Ertemis 1 dengan target mengorbit bulan tanpa awak pada 2020, kemudian misi Ertemis 2 dengan misi berawak mengorbit bulan ditargetkan pada 2023.
Kembali ke Bumi, Realitas "Kerja Tahun"
Sejenak meninggalkan kisah Godzilla dan makhluk-makhluk raksasa mitologi serta berbagai target tentang bulan. Kita kembali ke bumi dan kepada kenyataan.
Bukan akibat perang para titan dan para dewa, tapi manusia di bumi kini memang sedang menjalani sebuah masa suram akibat pandemi Covid-19. Bukan pula oleh jentikan jari Thanos sebagaimana di film "Avengers: Infinity War" (2018), tapi dampak pandemi ini telah memberi pengaruh signifikan pada populasi manusia.
Gerombolan atau kerumunan kini benar-benar menjadi sesuatu yang sangat dilarang dan dihindari. Pengaruhnya bahkan telah mengubah pesta kebudayaan hingga tingkat perdesaan.
Hal ini sebagaimana tampak dalam pesta kebudayaan "kerja tahun" pada suku Karo dalam dua tahun belakangan ini. Suasana kerja tahun pada 2020 yang lalu dan 2021 ini menunjukkan hal itu.
Sebagai pesta ungkapan syukur atas hasil panen padi, warga desa kami biasanya merayakan pesta ini dengan mengundang keluarga besar dari segala penjuru. Setidaknya selama dua hari berturut-turut, desa yang merayakan pesta panen akan menjadi pusat kerumunan orang-orang, dan di sana banyak makanan.
Tapi tidak juga kali ini. Adik sepupu saya mengabarkan bahwa pesta kerja tahun kali ini yang berlangsung pada 17-18 Juli ini masih tanpa ada undangan bagi kerabat dan sanak saudara. "Kerja tahun, tapi jangan bilang-bilang sama keluarga kata Corona," katanya setengah bercanda.
Ini kenyataannya. Walaupun salah satu kesulitan hidup bergerombol adalah perebutan makanan, nyatanya makan-makan tanpa ramai-ramai tetap saja tidak terasa sebagai sebuah "kerja tahun," katanya.
Saya dan anggota keluarga lainnya pun kembali hanya menikmati suasana "kerja tahun" kali ini hanya lewat foto-foto yang dikirimkan.
Menarik mengingat sebuah kalimat dari Neil Armstrong ketika ia menjejakkan kaki pertama kali di bulan lebih setengah abad yang lalu terkait kenyataan kerja tahun kini. "That's one small step for a man, one giant leap for mankind," katanya. Ini adalah langkah kecil seorang manusia, tapi lompatan besar bagi kemanusiaan.
Kerja tahun pada masa pandemi yang memasuki tahun kedua ini, disadari atau tidak, telah memicu sebuah lompatan besar kebudayaan.
Merayakan kerja tahun kini harus terbiasa tanpa kehadiran keluarga besar dan berlangsung tanpa hingar-bingar lagu dan tarian pesta sebagaimana biasanya ia dikenal dan dipahami selama ini. Bagaimana pun juga, untuk saat ini hal itu adalah pilihan terbaik untuk kebaikan bersama.
Bagaimana pun situasinya, tokh pada saat kerja tahun, doa mantra dari zaman nenek moyang itu masih bisa kita lantunkan kini. "Mbuah page nisuan, merih manuk niasuh". Kiranya tanah akan kembali memberikan hasil panen padi yang melimpah, dan hewan ternak peliharaan jauh dari penyakit serta semakin banyak beranak pinak.
Benarlah bahwa dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Apa pun yang membuat kita mampu bertahan akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu menjadi adat dan kebudayaan kita kemudian.
Semoga kita bisa menjadi pemenang dalam segala situasi yang kita hadapi.
Salam sehat, selamat kerja tahun. Mejuah-juah.
Rujukan:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H