Apa yang menarik untuk dikerjakan bersama keluarga saat hari dingin, hujan, dan tidak bisa kemana-mana? Hal pertama yang perlu dilakukan adalah memetakan apa saja yang ada di sekitar rumah.
Di sinilah pentingnya menerapkan jurus tabulakar dan tabulapot sebagaimana diajarkan dalam pertemuan-pertemuan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Saya pertama kali mendapatkan pemahaman ini pada tahun 2006 yang lalu, saat menjadi bagian anggota Tim Penggerak PKK Kabupaten Karo.
Tabulakar adalah akronim untuk tanaman bumbu-bumbuan dalam pekarangan. Sementara itu tabulapot adalah tanaman bumbu-bumbuan dalam pot. Jadi, keterbatasan luas atau ketiadaan pekarangan rumah bisa disiasati dengan menanam aneka tanaman obat, sayuran, dan segala macam kebutuhan dapur di dalam pot.
Istilah ini banyak dipakai dalam acara penyuluhan aneka keterampilan dalam urusan rumah tangga melalui wadah PKK, baik tingkat dusun, RT, RW dan di desa-desa. Umumnya yang terlibat dalam gerakan ini adalah kaum ibu-ibu, padahal yang namanya keluarga termasuk juga di dalamnya bapak-bapak.
Dengan adanya berbagai langkah pembatasan sosial di tengah suasana pandemi saat ini, ditambah kondisi situasional terkait cuaca, seperti musim hujan, misalnya, membuat ruang gerak kita sangat terbatas dan nyaris hanya di sekitar rumah saja. Ilmu PKK sejatinya menjadi sangat aktual untuk diterapkan pada situasi seperti ini.
Siasat melalui tabulakar dan tabulapot ini membuat kita memiliki alternatif aktivitas untuk dilakukan bersama keluarga.
Pertama, memanen bunga matahari untuk dijadikan kuaci.
Prosesnya memang tidak instan. Berbeda halnya apabila kita membeli langsung kuaci dalam kemasan di warung-warung atau swalayan. Namun, proses alami ini adalah salah satu media pembelajaran dan pembinaan spiritualitas di antara sesama anggota keluarga.
Bagaimana bunga matahari mulai dari bibit semaian, ditanam, dirawat, berbunga, hingga siap dipanen, dan diproses menjadi biji-biji kuaci. Itu adalah sebuah proses kehidupan.
Proses utuh sejak awal hingga akhir ini adalah wadah pembelajaran yang bisa membuat kita semakin mengenal dan mencintai kehidupan. Kehidupan makhluk hidup di luar diri kita, seperti halnya kehidupan tanaman, dan segala pernak-perniknya.
Kedua, membakar ubi jalar.
Kesabaran menunggu pertumbuhan umbi yang taktampak di dalam tanah akan melatih kita untuk belajar mencermati dan membaca tanda-tanda kehidupan yang tampak lewat perubahan daun ubi jalar. Hingga waktu panen tiba setelah 3 sampai 3,5 bulan kemudian, ada perasaan senang saat kita menggali tanah dan menantikan bagaimana gerangan bentuk umbinya di bawah sana.
Saat membakar ubi jalar sambil berdiang ketika hari hujan, itu adalah sebuah bentuk lain keseruan dalam membina kehangatan bersama orang-orang terdekat kita. Menikmati hangatnya ubi bakar bersama keluarga saat hari hujan, menyisipkan sebuah bentuk ungkapan syukur dalam memaknai kehidupan.
Kita mengetahui dari mana asal makanan yang kita santap, bagaimana ia tumbuh dan berkembang. Ada spiritualitas dalam sepotong ubi ungu bakar yang disiapkan dan disajikan dalam kesahajaan.
Senja pun perlahan lenyap digantikan malam. Hari masih gerimis, nyala api dari kayu bakar telah surut sedari tadi. Digantikan hangat bara api dengan aroma arang yang menguar, memenuhi beranda rumah tempat kami meringkuk melewati hari hujan yang dingin.
Saat makan malam
Tangas-tangas adalah sajian masakan khas Karo dengan bahan utama ikan-ikan kecil hasil tangkapan dari sungai atau sawah yang ditangkap dengan jaring yang kami sebut "durung" atau tanggok.
Akhir Kata
Hujan gerimis yang berkepanjangan hari ini menyisakan kehangatan dan permenungan, walaupun harus di rumah saja. Remah-remah makna kehidupan masih bisa dikumpulkan sekalipun hanya melalui hal-hal yang tampak remeh.
Dalam kesahajaan pun selalu saja masih ada alasan untuk kita bisa berujar di ujung hari, "Terima kasih, Tuhan, sebab hari ini engkau adakan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H