Bahkan mungkin ada di antara kita yang merasa bahwa bahagia adalah satu-satunya hal yang belum dirasakan dalam hidup yang penuh dengan derita dan nestapa. Kalau begitu, bukankah kebahagiaan sebenarnya ditentukan oleh sikap kita dalam merespons segala sesuatu yang berada di dalam, di antara, dan di sekitar diri kita?
Apa yang Bisa Membuat Hati Gembira Saat Menulis?
Banyak sekali jawaban untuk pertanyaan ini. Ada yang gembira karena dengan menulis dia merasa bisa berbagi manfaat dan inspirasi dengan para pembaca. Ada yang gembira karena bisa meraih penilaian dan komentar positif dari pembaca. Ada yang gembira karena tulisannya mendapatkan label yang prestisius. Ada lagi yang lebih berbahagia karena dari tulisannya dia mendapatkan hadiah.
Rasanya adalah sebuah omong kosong kalau ada manusia yang tidak menginginkan kegembiraan dalam hidupnya, termasuk dalam hal menulis. Saya memberikan sebuah contoh dan perbandingan sederhana tentang kegembiraan yang diperoleh dari aktivitas menulis. Contoh ini mungkin jauh lebih sederhana dibandingkan dengan menulis di Kompasiana.
Pada 9 Februari 2020, saya mendapatkan sebuah pesan dari Google Maps. Ini ada hubungannya dengan saya yang telah terdafar sebagai seorang "Google Local Guides".
Bunyi pesan di kotak masuk surat elektronik itu adalah: "You've earned a special perk! Thanks to your January contributions, you've unlocked a free pair of Local Guides socks!"
Pada masa itu belum ada gembar-gembor soal pandemi Covid-19 di Indonesia. Belum ada hubungan makna atas gembiranya hati saat menerima hadiah senilai USD 1 atau Rp14.000 pada waktu itu dengan imun tubuh dalam kaitannya dengan langkah antisipasi pandemi Covid-19. Baru sebulan kemudian hubungan itu menjadi aktual dan tampak lebih relevan, karena pandemi telah melanda hampir seluruh negara, bahkan menjadi isu aktual di gang rumah tempat tinggal kami.
Pada saat itu, saya sebagai pemandu lokal di Google masih berpangkat bintang 5 (level 5), dengan 546 poin. Kalau tidak salah, saat itu belum sampai setahun saya menjadi local guide.Â
Sepasang kaos kaki yang harganya tidak seberapa itu telah menempuh ribuan kilometer perjalanan dari Inggris Raya hingga Gang Garuda, Kabanjahe. Mungkin sudah melewati setidaknya dua benua, dua samudra, diangkut dengan berbagai moda transportasi. Aku tidak tahu berapa ongkos kirimnya, yang jelas jauh lebih mahal dari harga kaos kakinya sendiri.
Namun, barang ini tetap dikirimkan kepada seseorang yang belum sampai setahun bergabung. Dia yang menulis ulasan tanpa peluh apa lagi air mata, dan dengan gambar-gambar sekadarnya dari tempat-tempat yang dikunjunginya.