Udara yang sejuk dan segar khas alam perdesaan segera menyambut begitu kita masuk ke desa ini. Saya ada keperluan menjumpai salah seorang kerabat di desa ini.
Hamparan ladang warga desa terbentang luas di pintu masuk menuju desa Juma Padang, Kecamatan Barusjahe, Tanah Karo, Sumatra Utara. Sudah sekitar dua tahun belakangan ini warga desa banyak menanam wortel yang dianggap mempunyai harga jual relatif lebih stabil dan lebih menguntungkan bagi para petani.Â
Ya, petani tidak pernah kehilangan keahlian dan keterampilan dalam produksi, tapi pemasaran dan harga juallah yang lebih sering menjadi masalah bagi mereka, di mana-mana hampir sama masalahnya.
Menyelami kenyataan pandemi yang berkepanjangan dan suasana sejuk segar alam pegunungan di desa ini membuat hati termenung, bukankah sebenarnya desa adalah alternatif pilihan tempat tinggal dan tempat berusaha yang sehat, aman, dan nyaman? Pilihan hidup menjadi petani adalah alternatif yang patut dicoba di masa pandemi.
Saya menemukan diterapkannya sebuah konsep integrated farming, saat berada di ladang kerabat yang saya temui itu. Ada pertanian, ada peternakan yang diintegrasikan dalam satu tempat.Â
Di sana ada ladang yang ditanami wortel, tomat, jipang, kemudian ada kelinci dan kambing yang dipelihara dekat ladang. Dalam jangka panjang, dengan pengelolaan yang baik bukan tidak mungkin integrated farming ini akan menjadi tempat edu wisata yang juga akan menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Dilansir dari paktanidigital, dijelaskan bahwa wortel banyak dibudidayakan di Indonesia dengan pusat budidaya terbesarnya berada di wilayah Jawa, Sumatra Utara, Bengkulu, Lampung, Nusa Tenggara Timur, Makasar, Ambon, Papua, Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, hingga Sumatra Barat.
Wortel (Daucus carrota) memang merupakan salah satu sayuran favorit masyarakat Indonesia. Sayuran yang satu ini kaya akan vitamin A.
Di Tanah Karo, termasuk di desa Juma Padang yang baru saja saya sambangi ini, masyarakat menanam wortel mulai dari lahan yang tidak terlalu luas hingga lahan yang sangat luas.Â
Terlihat di beberapa lahan pertanian para pekerja laki-laki sedang mempersiapkan lahan untuk ditanami, di sebagian lahan yang lain para pekerja dari kaum wanita sedang menyiangi tanaman wortel.
1. Menentukan lokasi menanam wortel
Ketinggian tanah yang ideal untuk pertumbuhan wortel yang optimal berada pada 1000-1500 meter di atas permukaan laut. Suhu udara dingin dan lembab, dan tanah dengan pH berkisar antara 6-7.
2. Pemilihan Bibit
Pemilihan benih wortel sangat penting karena akan menentukan kualitas umbi unggul yang akan dihasilkan oleh tanaman wortel. Benih wortel mudah didapatkan di toko-toko pertanian terdekat maupun secara online.
Jangan lupa, perhatikan tanda terdaftar pada kemasan yang sudah memiliki merk, untuk memastikan kualitas bibit. Namun, sebagaimana umumnya tanaman lain yang dibudidayakan petani di sini, para petani juga menyediakan bibit wortel dari tanaman yang fertil.
3. Mempersiapkan lahan
Pertama kali, kita perlu membersihkan lahan dari gulma maupun rumput liar. Kemudian menggemburkan tanah dan mendiamkannya hingga 2 minggu. Lalu dibuat bedengan dengan lebar 150 cm dan tinggi sekitar 40 cm, dengan jarak antar bedengan sekitar 50 cm
Menanam benih adalah dengan cara menabur benih secara merata ke atas permukaan bedengan yang sudah dipersiapkan. Bedengan yang sudah ditabur benih kemudian ditutup kembali dengan tanah tipis-tipis.
5. Pemeliharaan
Wortel membutuhkan perawatan berupa penjarangan dan penyiangan rumput liar ataupun gulma agar menghasilkan wortel yang tumbuh subur dan menghasilkan panen yang lebih optimal.
Wortel dapat dipanen kira-kira 12 minggu setelah penanaman. Biasanya wortel yang ditanam dan dipelihara dengan cara yang baik dapat menghasilkan panenan sebanyak 25 ton/ hektar.
Mengutip data BPS pada paktanidigital.com terjadi peningkatan ekspor wortel pada tahun 2018 sebesar 630% dibandingkan dengan tahun 2017. Menurut Direktur Jenderal Hortikultura Kementan, Suwandi, petani wortel bahkan mampu menghasilkan 40-60 ton/hektar.
Menariknya, data BPS itu turut mengungkapkan fakta bahwa petani wortel, khususnya di daerah Berastagi, Tanah Karo, bisa menghasilkan pendapatan hingga 50 juta rupiah per bulannya dari hasil panen wortel dengan luas lahan sekitar 15 hektar.
Kelinci dan Wortel
Selain potensi dari sisi harga dan pemasaran wortel di atas, salah satu hal yang menarik untuk dilihat adalah tentang konsep integrated farming dalam budidaya tanaman wortel. Dekat dengan ladang wortel itu ada kandang ternak kelinci dan kambing.
Namun, dilansir dari rohmatfapertanian bahwa biaya beternak kelinci  relatif tidak membutuhkan modal besar. Selain itu pemeliharaan dan perawatannya pun mudah.
Menjadi lebih menarik karena ternyata hasil sampingannya pun masih bisa dimanfaatkan. Bahan makanannya melimpah, dapat memanfaatkan pakan dari sisa dapur dan hasil sampingan produk pertanian wortel yang banyak di sekitar desa ini. Selain itu, kelinci termasuk ternak yang prolific, mampu beranak banyak per kelahiran.
Pada umumnya ternak kelinci yang banyak dipelihara terdiri dari 2 breeds yaitu breeds fur (hias) dan fancy (kesenangan). Setiap kelompok breeds masih terbagi atas varietas-varietas berdasarkan warna rambut.Â
Hasil dari beternak kelinci ada yang untuk tujuan memperoleh daging, anakan/bibit, bulu/kulit, untuk hiasan/kesenangan, penelitian, dan untuk kotorannya untuk pertanian.
Melihat pakan ternak kelinci tersedia melimpah dari tanaman wortel yang banyak dibudidayakan warga, maka konsep integrated farming dalam hubungan wortel dan kelinci ini adalah pemanfaatan hasil sampingan dari dan untuk pertanian. Hasil sampingan wortel untuk pakan kelinci, kotoran kelinci untuk pupuk wortel dan tanaman lainnya.
Kotoran dan urin kelinci adalah bahan dengan kandungan yang cocok untuk pembuatan gas methane, media untuk pertumbuhan jamur, dan sebagai bahan pembuat kompos.Â
Urin kelinci dapat dimanfaatkan sebagai pupuk bunga anggrek. Produksi kotoran padat kelinci dapat mencapai 35 kg sampai 156 Kg/ tahun untuk satu ekor kelinci, tergantung jenis dan ukurannya.
Yang perlu diperhatikan dalam pembuatan kandang kelinci adalah perlunya memisahkan urin dengan kotorannya. Hal ini perlu untuk meminimalkan bau sebagaimana halnya dengan kandang-kandang ternak pada umumnya.
Dilansir dari Kompas.com yang mengangkat kisah ibu Vita, seorang dosen berstatus PNS yang mengajar di Universitas Mulawarman, dan kemudian berhenti menjadi dosen dan lebih memilih beternak kambing.Â
Dia menjelaskan bahwa pada prinsipnya yang membuat bau itu adalah urin ternah. Jadi perlu dikondisikan memisah urin dan kotoran padat dengan membuat instalasi tertentu pada kandang.
Konsepnya, di bawah kandang dipasang jaring untuk menangkap kotoran. Jaring tersebut dipasang miring agar kotoran bisa mengelinding ke tampungan yang disediakan.Â
Kemudian, di bawah jaring, dipasang fiber yang juga diposisikan miring untuk menampung urin. Urin kelinci kemudian dikumpulkan dalam tempat penampungan.
Urin dan kotoran kelinci ini memiliki nilai ekonomis karena bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Jadi, dari kelinci untuk wortel dan dari wortel untuk kelinci. Dengan begitu, ketersediaan pakan untuk ternak selalu terjaga, ketersediaan pupuk untuk tanaman budi daya juga turut terjaga.
Sesaat ketika akan meninggalkan desa ini, saya jadi berpikir, bila semakin banyak generasi milenial yang juga melek teknologi yang merasa tertarik bertani dan beternak secara terintegrasi, ditambah dengan kemasan konten blog, vlog, TikTok, YouTube, Instagram, Facebook, Twitter, dan macam-macam media sosial penyangga eksistensi mereka kini, maka bukan tidak mungkin integrated farming ini pun akan lebih cepat berkembang menjadi lahan edu wisata.
Dengan begitu, lebih banyak alternatif pekerjaan bisa menyerap tenaga kerja dan membawa talenta-talenta muda dan berbakat lebih membangun desa. Orang jalan-jalan juga bisa lebih aman, karena lahan kosong dan udara di desa lebih luas dan segar dari kota-kota yang sudah semakin sumpek kini.
Siapa tahu, suatu saat pikiran ini tidak hanya menjadi sekadar cerita. Setidaknya bukan di sini, meskipun bisa saja terjadinya baru pada suatu saat nanti. Siapa tahu. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H