Urin dan kotoran kelinci ini memiliki nilai ekonomis karena bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Jadi, dari kelinci untuk wortel dan dari wortel untuk kelinci. Dengan begitu, ketersediaan pakan untuk ternak selalu terjaga, ketersediaan pupuk untuk tanaman budi daya juga turut terjaga.
Sesaat ketika akan meninggalkan desa ini, saya jadi berpikir, bila semakin banyak generasi milenial yang juga melek teknologi yang merasa tertarik bertani dan beternak secara terintegrasi, ditambah dengan kemasan konten blog, vlog, TikTok, YouTube, Instagram, Facebook, Twitter, dan macam-macam media sosial penyangga eksistensi mereka kini, maka bukan tidak mungkin integrated farming ini pun akan lebih cepat berkembang menjadi lahan edu wisata.
Dengan begitu, lebih banyak alternatif pekerjaan bisa menyerap tenaga kerja dan membawa talenta-talenta muda dan berbakat lebih membangun desa. Orang jalan-jalan juga bisa lebih aman, karena lahan kosong dan udara di desa lebih luas dan segar dari kota-kota yang sudah semakin sumpek kini.
Siapa tahu, suatu saat pikiran ini tidak hanya menjadi sekadar cerita. Setidaknya bukan di sini, meskipun bisa saja terjadinya baru pada suatu saat nanti. Siapa tahu. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H