Ini bukanlah laporan kekuatan getaran tentang catatan kegempaan akibat aktivitas vulkanik gunung api Sibayak yang tercatat pada seismograf. Melainkan catatan tentang getaran rasa kecintaan terhadap bumi Nusantara pada hari laut sedunia dari penulis yang tinggal di daerah pegunungan tanpa laut.
Nusantara adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua, yang merupakan wilayah negara Indonesia. Kata ini tercatat pertama kali dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan (abad ke-12 hingga ke-16) untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit.
Catatan mengenai wilayah kepulauan Nusantara yang merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk ini tercatat dalam kitab Negarakertagama. Naskah kitab ini selesai ditulis oleh Mpu Prapanca (Dang Acarya Nadendra) pada bulan Aswina di tahun Saka 1287, atau bertepatan dengan bulan September-Oktober 1365 Masehi.
Tentang Nusantara, Gunung, dan Laut
Pada pupuh XIII Kitab Negarakertagama, tercatat ada satu wilayah negara bawahan Majapahit bernama Kerajaan Haru. Pada zaman kerajaan-kerajaan dahulu kala, Kerajaan Haru ini dipercaya sebagai kerajaan yang bertalian dengan asal-usul nenek moyang suku Karo yang ada sampai sekarang.
Wilayah Nusantara sebelah Barat, selain Kerajaan Haru termasuk juga Jambi, Palembang, Toba, Darmasraya, Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Mandailing, Tamihang, Perlak, dan Padang. Sementara itu di sebelah Timur, wilayah kekuasaan Majapahit mencakup Pulau Gurun yang disebut juga Lombok Merah, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Selayar, Sumba, Solot, Muar, Maluku, Wanin, Seran, dan Timor.
Hubungan wilayah kepulauan Nusantara yang sudah terjalin sejak zaman Majapahit ini, tentu dimungkinkan oleh keberadaan laut yang memisahkan sekaligus menyatukan seluruh daratan Nusantara. Takayal lagi, Majapahit adalah sebuat kerajaan maritim yang kuat pada masa jayanya.
Menyadari kenyataan itu, tentulah hari laut sedunia yang diperingati setiap tanggal 8 Juni, termasuk juga peringatan hari lingkungan hidup sedunia pada tanggal 5 juni yang baru lalu, menjadi momen penting untuk memandang dan mencermati Nusantara sebagai kesatuan wilayah kepulauan yang bersifat antropogeografis (geografi budaya). Atau dalam istilah lain lebih dikenal dengan istilah wawasan Nusantara.
Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan bentuk geografinya berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pelaksanannya, wawasan nusantara mengutamakan kesatuan wilayah dan menghargai kebhinekaan untuk mencapai tujuan nasional.
Oleh karena di Tanah Karo tidak ada wilayah laut, bukan berarti anak gunung tidak perlu ambil peduli soal urusan laut. Sebab Indonesia adalah negeri di mana sungai yang bermuara di pegunungan mengalir sampai jauh hingga bermuara ke laut.
Secara sederhana, bisa digambarkan bahwa Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, tidak dapat dipisahkan antara lautan dan daratan dengan berbagai keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya.
Mengenal dan memahami Indonesia sebagai kesatuan wilayah, tidak akan pernah utuh kalau anak gunung merasa tidak perlu belajar berenang karena ia merasa tidak perlu mengenal laut. Atau anak laut merasa tidak perlu belajar bertani karena ia tidak perlu mengenal kehidupan pegunungan. Ini tentang mengenal Indonesia secara utuh dengan seluruh potensi dan ancaman yang melingkupinya.
 Melihat Keindahan Alam Sibayak di Hari Laut Sedunia
Dari data UPT. Pengelolaan Tahura Bukit Barisan, Gunung Sibayak adalah sebuah gunung api aktif tipe A jenis stratovolcano, dengan ketingian 2056 mdpl, yang berada di Kabupaten Karo, Sumatra Utara. Kata "sibayak" dalam nama gunung ini, oleh orang Karo dikaitkan dengan sebutan sibayak yang berarti "raja" dalam sistem pemerintahan tradisional Karo pada masa lalu.
Di kawasan kawah puncak Sibayak terdapat kaldera yang luasnya lebih kurang 40.000 m2, dan di sekitarnya terdapat lubang-lubang semburan gas sulfatara, yang memproduksi belerang dan uap panas bumi, serta lava andesit. Â
Hari Senin yang lalu saya bertemu dengan pak Suparmin. Dia adalah seorang dari suku Jawa yang tinggal di Desa Rajaberneh. Sehari-harinya ia bertugas sebagai penjaga pos retribusi di pintu masuk rute pendakian Gunung Sibayak.
Pada hari biasa di bertugas di pos ini sampai sore menjelang malam. Namun, pada hari Sabtu, di mana lebih banyak orang yang datang melakukan pendakian, maka pak Suparmin ditemani oleh dua orang rekannya bermalam di pos ini.
Vegetasi hutan di sekitar gunung Sibayak cukup beragam, khas hutan hujan tropis. Pada saat saya singgah sebentar di pos pendakian ini, kami melihat serombongan "Sikulikap" yang bergelantungan di pohon. Itu adalah jenis kera yang berbulu hitam, dengan tungkai (kaki dan lengan) yang panjang dan ada warna keabu-abuan di punggung dan kepalanya. Berikut ini adalah rekaman video amatir penampakan kera "Sikulikap" yang sempat saya abadikan.Â
Habitat bagi Sikulikap, sebagaimana umumnya mamalia, adalah di sekitar sumber air. Jenis kera yang satu ini mirip jenis kera yang disebut Gibon.
Selain sikulikap, satwa liar yang dilindungi lainnya yang juga menghuni hutan sekitar gunung Sibayak sebagaimana halnya hutan pada gugusan taman nasional Bukit Barisan antara lain adalah kijang muncak, harimau sumatera, gajah asia, orang utan, kambing hutan sumatera, kukang, trenggiling, tapir, elang bondol, beruang madu, dan elang brontok. Namun, menurut pengakuan Pak Suparmin, harimau sumatera dan gajah asia adalah jenis satwa yang tidak pernah ia temukan di sekitar hutan gunung Sibayak ini.
Selain menyimpan pesona serta keindahan alam, dan walaupun tampak damai dengan reputasinya yang sudah lama tidak meletus sejak tahun 1881, bukan berarti tidak perlu hati-hati saat melakukan pendakian di gunung ini. Menurut data UPT. Pengelolaan Tahura Bukit Barisan, di gunung ini tercatat ada 13 orang pendaki yang pernah dilaporkan hilang sejak tahun 1983 hingga 2017.
Wasana Kata
Meskipun artikel ini tidak dituliskan di tepian pantai, tapi sebagaimana perlunya penghormatan terhadap kearifan lokal di alam pegunungan, begitu juga halnya dengan laut. Kita perlu menjaga etika dalam hubungan kita dengan alam.
Alam mungkin saja bisa lestari tanpa manusia, berbeda halnya dengan manusia yang tidak mungkin hidup tanpa alam yang lestari. Kalau pun mungkin bisa, pada saat itu terjadi kita barang kali sudah menjadi jenis manusia yang sepenuhnya berbeda dengan yang kita kenal selama ini.
Semoga ada kepedulian yang semakin meningkat untuk menjaga laut, gunung, hutan, sungai, dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya bagi kehidupan dan penghidupan yang berkelanjutan. Dari sanalah sungai mengalir sampai jauh.
Selamat hari laut dan hari lingkungan hidup sedunia dari kami di pegunungan Tanah Karo. Mejuah-juah.
Rujukan:
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI