Pertama kali saya menulis di Kompasiana pada Oktober 2018, saya merasa tertarik dengan deskripsi yang disematkan oleh seorang kompasianer di profilnya. Dia adalah pak Felix Tani.
Ia pada waktu itu menjelaskan diri sebagai seorang petani mardijker, sosiolog kampungan, dan penganut paham "mikul dhuwur mendhem jero." Saya merasa tertarik dengan paham yang dianutnya itu. Artinya kurang lebih "memikul gabah hasil panen di pundak tinggi-tinggi dan memendam jerami dalam-dalam di lumpur sawah untuk menyuburkan tanah."
Saya sebagai seorang anak kampung langsung merasa tertarik dengan ungkapan itu. Sebabnya taklain, karena kebiasaan yang sering saya dan keluarga lakukan di kala mengisi hari libur.
Apa saja kebiasaan liburan yang kami lakukan itu? Ini sebagian di antaranya.
1. Ndurung
Sebagai mardijker yang tahu diri, saya merasa perlu sekali-sekali untuk siuman di dalam lumpur. Oleh sebab itu, ndurung menjadi obat rasa penat yang bagus diminum pada hari libur.
Ndurung adalah kegiatan menangkap ikan di kolam dengan menggunakan jaring yang disebut tanggok, atau "durung" dalam bahasa Karo.
Tidak saja soal mendapatkan ikan yang bisa dimasak langsung di lokasi, tapi keseluruhan prosesnya adalah obat bagi jiwa. Menghindari risiko penularan virus akibat interaksi erat di ruang tertutup, maka ndurung menjadi salah satu pilihan liburan yang tepat.
Selain bisa mendapatkan ikan untuk dimasak di lokasi, sisanya di bawa pulang, menikmati udara segar dengan alam yang masih asri, kita juga bisa mendapatkan luluran lumpur sawah secara cuma-cuma. Kalau takmampu beli skincare, perawatan kulit terapi lumpur ini bisa jadi alternatif, Sob. Segar lho.
Menikmati jagung bakar di tempat wisata yang tinggal bayar dan langsung dimakan itu mungkin sudah biasa. Coba sesekali bakar jagung sendiri.