Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Resonansi "Sound of Borobudur" Lewat Tabuhan "Segarantung" dari Alam Pegunungan Tanah Karo

14 Mei 2021   16:10 Diperbarui: 14 Mei 2021   16:16 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Segarantung berupa gendang kecil yang melekat pada gendang penganak

Musik adalah bahasa yang universal. Saat perundingan damai terkadang gagal dan berakhir di palagan peperangan, sebaliknya warga antar negara yang bertikai bisa menemukan perdamaian dalam musik dan alunan lagu yang sama.

Membahas tentang musik tentu tidak bisa tidak, kita akan membicarakan alat musik sebagai sumber bunyi. Kesamaan dalam frekuensi bunyi akan melahirkan resonansi.

Resonansi bunyi merupakan peristiwa ikut bergetarnya suatu benda akibat getaran yang dihasilkan oleh sumber bunyi. Resonansi bunyi hanya dapat terjadi jika suatu benda memiliki frekuensi alami yang sama dengan frekuensi alami sumber bunyi yang bergetar.

Dari penggalan definisi resonansi itu saja, kita bisa merasakan bahwa musik sangat berkaitan erat dengan harmoni dan alam. Dua hal yang akan menghubungkan kita dengan kemajemukan.

Perbedaanlah yang membentuk harmoni, alam adalah ruang eksistensi bagi perbedaan. Tidak heran, dalam hubungan yang saling terkait itu, musik lahir sebagai pengikat harmoni.

Candi Borobudur dan Alam Tanah Karo

Menyahuti undangan blog competition terkait opini soal "Sound of Borobudur", saya mencoba merasa-rasakan sebuah getaran hubungan jarak jauh, antara Canci Borobudur yang terletak di Magelang, Jawa Tengah dengan alam pegunungan Tanah Karo.

Aplikasi Google Map memberikan petunjuk bahwa jarak terdekat antara Tartu Flower Garden, yang berada di kawasan Kacinambun Highland, Tanah Karo, Sumatera Utara, tempat saya berada saat artikel ini dituliskan, dan Candi Borobudur yang terletak di Magelang, Jawa Tengah adalah sekitar 2457 km, dan waktu tempuh sekitar 1 hari 23 jam.

Panorama malam dari Puncak Kacinambun Highland (Sumber foto: Zia Coffee)
Panorama malam dari Puncak Kacinambun Highland (Sumber foto: Zia Coffee)
Jarak dan waktu tempuh itu menggunakan asumsi perjalanan jalur darat menggunakan rute tercepat, dengan menghindari penutupan jalan di Jl. Tol Pejagan, Pemalang. Dan tentu saja dengan asumsi bahwa kendaraan yang saya gunakan tidak mogok selama perjalanan. Data ini bukan fiksi.

Gambaran data singkat ini diperlukan sebagai alat bantu untuk menggambarkan sebuah fenomena unik yang lahir dari zaman lampau, dalam hubungan antara alat musik tradisional suku Karo dengan relief alat-alat musik yang terpahat di dinding Candi Borobudur.

Bila rencana perjalanan ini dilakukan pada zaman nenek moyang suku Karo, saat alat-alat musik tradisionalnya dilahirkan, tentu jarak ribuan kilometer untuk mencapai Candi Borobudur dari dataran tinggi Karo itu bisa memakan waktu berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan sebulan. Kecuali bila perjalanan itu dibarengi dengan ilmu kesaktian.

Namun, faktanya ada kesamaan alat musik tradisional suku Karo yang lahir dari zaman yang sudah sangat tua dengan setidaknya salah satu alat musik yang ada di relief dinding Candi Borobudur. Tidak saja dalam penamaan, tapi juga dalam fungsinya.

Mengenal Segarantung

Nama alat musik tradisional suku Karo itu adalah segarantung. Ini adalah salah satu bagian kecil dari seperangkat alat musik ansambel pada suku Karo. Seperangkat alat musik gabungan menggunakan beberapa jenis alat musk yang berbeda dan dimainkan oleh beberapa orang.

Segarantung berupa gendang kecil yang melekat pada gendang penganak
Segarantung berupa gendang kecil yang melekat pada gendang penganak

Untuk melihatnya lebih dalam, kita perlu berkenalan dengan perangkat lengkap alat musik tradisonal asli pada suku Karo. Nama perangkat musik lengkap suku Karo itu adalah "Gendang Telu sendalanen, Lima Sada Perarihen."

Saat ini lebih umum dikenal oleh masyarakat Karo dengan sebutan "Gendang Lima Sendalanen." Penamaan ini berkaitan dengan jumlah dan jenis perangkat musik tradisional yang digunakan, dan hubungannya dengan falsafah hidup orang Karo "Merga Si Lima, Rakut Si Telu, Tutur Si Waluh."

Gendang telu sendalanen bisa dikatakan gendang tiga serangkai. Berkaitan dengan sejarah awal alat musik tradiosional Karo ini dulunya, baik dalam upacara adat suka cita maupun duka cita, peran musik pengiring yang menggunakan perangkat tradisional ini sangat vital untuk kesuksesan acara.

Uniknya, gendang telu sendalanen, yang terdiri atas pemain gung (gong), anak gendang, dan penarune (peniup serunai) dulunya ada di setiap kampung di Tanah Karo. Jadi, bilamana ada upacara adat yang menggunakan musik pengiring, maka pihak keluarga yang menyelenggarakan acara tinggal mengundang dua pemain musik lagi dari luar kampung, yang terdiri atas pemain gendang penganak dan indung gendang.

Kombinasi kelima unsur alat musik tradisional inilah yang dinamakan "Gendang Telu Sendalanen, Lima Sada Perarihen." Bila diterjemahkan secara bebas artinya gendang tiga serangkai, lima jadi satu mufakat.

Sarune, salah satunya bertahun 1899
Sarune, salah satunya bertahun 1899
Sarune, salah satunya bertahun 1899
Sarune, salah satunya bertahun 1899
Sarune, salah satunya bertahun 1899
Sarune, salah satunya bertahun 1899

Sekarang kita kembali fokus kepada alat musik bernama segarantung. Ini adalah sebuah alat musik pukul dengan membran dari kulit kijang sebagai sumber bunyinya. Segarantung melekat pada gendang penganak.

Perhatikan, bahwa pada zaman nenek moyang suku Karo pemain gendang penganak ini sama halnya dengan indung gendang berasal dari luar kampung. Barangkali ada hubungannya dengan asal alatnya yang juga ada pengaruh dari luar Tanah Karo.

Secara bentuk dan bahan, gendak penganak hampir sama dengan indung gendang. Satu hal yang membedakannya adalah, pada indung gendang tidak ada ditautkan tambahan gendang yang lebih kecil yang disebut segarantung.

Indung gendang (Dokpri)
Indung gendang (Dokpri)

Saya tidak mendapatkan referensi dari pelaku seni musik tradisional Karo yang masih eksis mengenai asal kata segarantung ini. Barang kali ini berkaitan dengan posisi alat yang memang ditempelkan menggantung pada gendang penganak.

Kata "se-" sebagai awalan dalam bahasa Karo, fungsinya sama dengan awalan "se-" secara umum pada kata dalam bahasa Indonesia yang berarti satu. Segarantung menggantung secara solo (tunggal) di badan gendang penganak.

Bila diperhatikan lebih detail pada saat dimainkan, gendang penganak yang dilengkapi segarantung ini, selain berperan sebagai metronome untuk menjaga tempo lagu, ia juga berfungsi sebagai fill in. Variasi pukulan pada indung gendang dan gendang penganak yang dilengkapi segarantung menghasilkan suatu pola penanda perubahan dalam bagian-bagian suatu lagu. Misalnya, dari intro ke verse, atau dari bridge ke reffrain.

Mengagumi Borobudur dari Jauh Lewat Segarantung

Lalu apa hubungan segarantung dengan Borobudur? Candi Borobudur yang selama ini kita kenal, ternyata bukan saja sebagai situs candi terbesar di negeri ini, tetapi ternyata bisa dikatakan bahwa situs ini dulunya adalah pusat musik dunia. Sebuah pusat yang mempertemukan ragam peradaban dari seluruh nusantara, bahkan dunia, melalui seni musik.

Saya terakhir kali bertamasya ke candi ini pada tahun 2012 yang lalu. Sebagai kegiatan sampingan saat berwisata di sela perjalanan dinas dalam rangka studi banding pengelolaan sampah ke Kota Blitar. Pada waktu itu, saya sama sekali tidak menaruh perhatian serius soal adanya relief 60 jenis alat musik pada dinding Candi Borobudur.

Relief 60 jenis alat musik yang terpahat di dinding candi borobudur, jika dikelompokkan terdiri atas alat musik membranophone, alat musik pukul (idiophone), alat musik tiup (aerophone), alat musik petik (cordophone). Jejak sebaran alat musik  yang terpahat pada relief Candi Borobudur tercatat berada di 34 provinsi di Indonesia, dan bahkan pada 40 negara di dunia.

Sebagai bagian dari lebih 200 relief yang berada di 40 panil, alat musik yang ditampilkan terdiri dari alat musik petik, tiup, pukul, dan membran, dari berbagai daerah di nusantara. Beberapa di antaranya bernama garantung (idiophone), tifa (idiophone), kendang (idiophone), suling (aerophone), dan keledik / kedire (aerophone).

Sejarah peradaban manusia mencatat bahwa pada abad ke-8 Masehi, homo sapiens telah menjadikan seni musik sebagai budaya dalam kesehariannya dan berfungsi sangat penting dalam kehidupan sosial. Dari sana saya beropini bahwa segarantung yang merupakan bagian alat musik tradisional suku Karo identik dengan garantung yang terukir pada relief Candi Borobudur.

Segarantung bisa dikatakan merupakan kombinasi membranophone dan idiophone. Soal kebenarannya tentu perlu kajian para ahli untuk membuktikannya. Saya sebagai anak negeri merasa tertarik dan merasa penting untuk bisa ikut menggaungkan keagungan maha karya seni yang ada di Candi Borobudur kepada generasi saat ini dan masyarakat dunia, tentang kebesaran Borobudur sebagai pusat musik dunia.

Wasana Kata

Saya baru menyadari fakta unik dan menarik tentang segarantung dalam hubungannya dengan candi Borobudur sebagai pusat musik dunia dari tulisan berjudul "Mengenal 'Relief Musik' Candi Borobudur Sebagai Perdamaian Dunia", yang ditulis oleh kompasianer Hana Marita Sofianti.

Berbekal hal itu, saya juga meminta bantuan dari seorang kompasianer lainnya dengan akun Ruang Berbagi (Romo Bobby) untuk berbagi beberapa referensi soal candi Borobudur. Selain itu, saya baru merampungkan tulisan ini pada hari ini, tepat 5 hari saya bersama keluarga "menghabiskan" liburan di atas ketinggian alam pegunungan Tanah Karo di Kacinambun Highland, salah satu primadona pariwisata baru di Tanah Karo.

Mengapa hal ini perlu saya sampaikan sebagai penutup? Bila dulu pada tahun 2012 saya luput melihat fakta adanya relief 60 jenis alat musik yang terpahat di dinding candi Borobudur saat berwisata ke sana, itu karena perjalanan wisata itu berlalu dalam ketergesa-gesaan.

Ternyata berbekal perhatian bersama atas sesuatu hal, dan dilakukan dalam ritme hidup yang melambat saat berwisata, kita bisa menemukan kaitan yang menarik antara kekayaan budaya kita sendiri dengan budaya masyarakat di tempat lain. Hal ini lagi-lagi membuktikan bahwa tidak ada alasan untuk kita tidak bersaudara.

Walaupun mungkin nanti tidak menang mengikuti blog competition ini, saya sudah cukup senang bisa menyelesaikan tulisan ini. Lebih senang lagi apabila menang, karena hidup yang melambat selama 5 hari di alam pegunungan Tanah Karo yang berundak-undak menyerupai candi ini, akan diganjar dengan travelling ke Borobudur selama 5 hari.

Panorama alam pegunungan Tanah Karo dari Kacinambun Highland
Panorama alam pegunungan Tanah Karo dari Kacinambun Highland

Dan bila itu terjadi, saya berjanji akan belajar lebih banyak lagi dari 200 relief yang berada di 40 panil pada dinding Candi Borobudur. Dari sana mungkin saya akan menemukan lebih banyak lagi hal-hal yang selama ini tidak saya ketahui tentang budaya Karo sendiri.

Berikut ini saya sertakan sebuah utas YouTube dari lagu Karo yang diiringi alunan alat musik tradisional Karo. Mejuah-juah.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun