Anomali berikutnya, justru karena banyaknya cinta dari banyak orang itu, membuatnya bisa tetap awet muda dalam penampilan fisiknya yang tua. Permukaan peot dan keriput disana sini tak lebih seperti riasan, yang menandakan perjalanannya yang sudah cukup panjang mengarungi hidup.
Ia tak kurang mewakili kejayaan seni musik peradaban Eropa. Lebih dari itu, ia juga menjadi saksi masa-masa awal kemandirian Gereja Batak Karo Protestan dalam bidang musik.
Setiap orang yang menghasilkan buah pemikiran untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi sesamanya, selalu mendapatkan tempat tanpa harus berlomba berebut tempat. Apalagi harus menyingkirkan sesama atau sebangsanya.
Pengharapan itulah yang membuatku buta akan kenyataan bahwa aku juga cukup sengsara saat harus menenteng alat itu dalam perjalanan pulang pergi sejauh 4 kilometer, dari rumah ke tempat berlatih, pulang pergi minimal seminggu sekali. Sebab perawakan alat ini lebih besar dari badanku sendiri.
Belum lagi risiko digodai oleh para remaja dan orang-orang dewasa sepanjang jalan yang aku lewati. Sebab agak janggal melihat "anak kecil" menggandeng gebetan yang lebih dewasa apalagi keriput dan sudah peot begitu.
Namun, kuyakinkan hati bahwa tampilan hanyalah kemasan luar. Kemasan tidak selalu menentukan rasa. Lagi pula, ketekunan akan mendatangkan tahan uji, dan tahan uji adalah sumbu asa harapan masa depan dari masa kecilku yang layak aku syukuri.
Terima kasih, Tuhan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI