Tidak ada orang yang menyukai kesengsaraan. Namun, banyak orang yang sudah merasakan kebenaran makna sebuah ungkapan, bahwa kesengsaraan menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan.
Pengharapan sejatinya adalah sumbu asa semangat hidup, meskipun sering kali pengharapan tidak selalu dan selamanya seperti yang dibayangkan.
Pengharapan bisa berupa cita-cita akan sesuatu yang kita inginkan terjadi atas diri kita. Bisa juga terkait orang lain.
Menyadari bahwa kesenjangan antara pengharapan dan kenyataan adalah batasan yang membentuk makna kata masalah maka masalah adalah sesuatu yang tidak bisa tidak selalu harus kita hadapi dalam hidup. Dari sana kita bisa mengerti makna ungkapan "ampunkanlah kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami."
Sebab, baik diri kita maupun orang lain, tidak ada yang tidak pernah melakukan kesalahan. Sebagaimana kebutuhan akan makanan, melakukan kesalahan adalah bawaan lahir manusia. Kita hanya bisa berusaha mengendalikan tingkat kesalahan, tapi mungkin mustahil dihilangkan.
Ibarat makanan dan kemasannya, bisa dibilang bahwa pengharapan adalah kemasan, kenyataan adalah rasanya. Seringkali, rasa tidak ditentukan oleh tampilan kemasan.
Sebuah Analogi
Untuk menggali makna lebih dalam tentang hal ini dengan ilustrasi sederhana berciri kebendaan, kita bisa menggunakan sebuah ungkapan bahasa Latin dari Francis Bacon. Scientia potentia est, pengetahuan adalah kekuatan.
Pengetahuan adalah sumber kebijaksanaan. Untuk bisa tahu orang perlu belajar. Untuk bisa belajar orang perlu meyakini nilai kebenaran sebuah pengajaran.
Demikianlah kiranya filsafat ilmu yang dibangun dari premis-premis logis, hingga diyakini kebenarannya dan menjadi sebuah nilai atau pedoman hidup.